Senin, 28 September 2015

Secangkir Kopi Pahit dan Sepotong Kenangan

Malam ini purnama penuh.
Pukul Sembilan lewat dua puluh.
Hanya ada aku, secangkir kopi pahit dan kenangan yang terasa hambar.

Malam ini sedikit lebih dingin dari biasanya..
Ada aku yang menyeruput kesunyian dalam secangkir kopi.
Menghirup pahit manis aroma kenangan, dan tetap saja pahit.
Sepahit luka di hati sepasang insan yang saling mencintai,
Namun akhirnya beranjak pergi..

Kenangan itu menyapaku lagi..
Sudah sejauh ini, sudah selama ini, dan masih selalu begini..
Mungkin saja ia belum benar-benar hanyut..
Ah, sial! Waktu memang selalu lihai menyemburkan luka pada saat yang salah.

Teringat saat pertama kali jatuh hati padanya.
Ia adalah pelita yang pudarkan gulita.
Seseorang yang selalu kupinta dalam doa-doa yang masih Tuhan jaga.

Adalah namanya yang mengencangkan debar jantung ini.
Kepada sunyi, seribu puisipun bisa ku beri.
Namun kepadanya yang ku sukai, semua kata seolah terkunci.
Hanya menyisakan debaran yang tak terkendali.

Kuseruput lagi kopi hitamku yang mulai mendingin.
Cangkirnya masih menyisakan hangat yang terasa di ujung jemariku.
Teringat beberapa waktu yang lalu..
Aku dan dia pernah saling mendekap tanpa jarak.
Saat itu berpikir bahwa ia benar-benar mengulur jangkar untuk melabuhkan bahtera.
Tapi ternyata ia hanya menepi sejenak, lalu kemudian pergi.
Meninggalkan bekas kecupan yang masih terasa hangatnya.

Ya, ia benar-benar pergi.
Ia bercerita tentang ketidakmungkinan untuk bersama
Lalu dalam sekelebat ia mengayunkan langkah sembari mengucapkan selamat tinggal
Tanpa pernah sedikitpun memperjuangkan apa yang sama-sama kita rasa..

Oh lelaki..
Apakah sebegitu tak berharganya rasa itu
sehingga tak layak untuk diperjuangkan?

Lantas, siapa yang benar-benar terluka diantara kita?
Orang itu aku.

Aku adalah wanita yang ia bebani rindu, kemudian ia pergi berlalu
Bagai rumput yang mencintai titik embun
Kemudian titik embun itu hilang dan menguap saat diterpa terang
Meninggalkan rumput yang terus menanti
Hingga akhirnya mengering dan mati..

Dan sebelum ia pergi
Ia berkata bahwa aku pasti bisa melupakannya
Aku pasti bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya..

Sepertinya ia tak paham betapa sulitnya menyembuhkan luka itu..
Siapa yang sanggup membunuh kenangan dan mengubur rindu?
Katakan padaku,
Bagaimana membunuh sesuatu yang tak bisa mati?


Ah, cinta tak sebercanda itu!


Banda Aceh, 28 September 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar