Senin, 28 September 2015

Secangkir Kopi Pahit dan Sepotong Kenangan

Malam ini purnama penuh.
Pukul Sembilan lewat dua puluh.
Hanya ada aku, secangkir kopi pahit dan kenangan yang terasa hambar.

Malam ini sedikit lebih dingin dari biasanya..
Ada aku yang menyeruput kesunyian dalam secangkir kopi.
Menghirup pahit manis aroma kenangan, dan tetap saja pahit.
Sepahit luka di hati sepasang insan yang saling mencintai,
Namun akhirnya beranjak pergi..

Kenangan itu menyapaku lagi..
Sudah sejauh ini, sudah selama ini, dan masih selalu begini..
Mungkin saja ia belum benar-benar hanyut..
Ah, sial! Waktu memang selalu lihai menyemburkan luka pada saat yang salah.

Teringat saat pertama kali jatuh hati padanya.
Ia adalah pelita yang pudarkan gulita.
Seseorang yang selalu kupinta dalam doa-doa yang masih Tuhan jaga.

Adalah namanya yang mengencangkan debar jantung ini.
Kepada sunyi, seribu puisipun bisa ku beri.
Namun kepadanya yang ku sukai, semua kata seolah terkunci.
Hanya menyisakan debaran yang tak terkendali.

Kuseruput lagi kopi hitamku yang mulai mendingin.
Cangkirnya masih menyisakan hangat yang terasa di ujung jemariku.
Teringat beberapa waktu yang lalu..
Aku dan dia pernah saling mendekap tanpa jarak.
Saat itu berpikir bahwa ia benar-benar mengulur jangkar untuk melabuhkan bahtera.
Tapi ternyata ia hanya menepi sejenak, lalu kemudian pergi.
Meninggalkan bekas kecupan yang masih terasa hangatnya.

Ya, ia benar-benar pergi.
Ia bercerita tentang ketidakmungkinan untuk bersama
Lalu dalam sekelebat ia mengayunkan langkah sembari mengucapkan selamat tinggal
Tanpa pernah sedikitpun memperjuangkan apa yang sama-sama kita rasa..

Oh lelaki..
Apakah sebegitu tak berharganya rasa itu
sehingga tak layak untuk diperjuangkan?

Lantas, siapa yang benar-benar terluka diantara kita?
Orang itu aku.

Aku adalah wanita yang ia bebani rindu, kemudian ia pergi berlalu
Bagai rumput yang mencintai titik embun
Kemudian titik embun itu hilang dan menguap saat diterpa terang
Meninggalkan rumput yang terus menanti
Hingga akhirnya mengering dan mati..

Dan sebelum ia pergi
Ia berkata bahwa aku pasti bisa melupakannya
Aku pasti bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya..

Sepertinya ia tak paham betapa sulitnya menyembuhkan luka itu..
Siapa yang sanggup membunuh kenangan dan mengubur rindu?
Katakan padaku,
Bagaimana membunuh sesuatu yang tak bisa mati?


Ah, cinta tak sebercanda itu!


Banda Aceh, 28 September 2015.

Sabtu, 26 September 2015

Moving on and letting go

"Makanyaa.. Move on donk!"

Ngomongin tentang move on, sebenarnya ini adalah topik yang lumayan ringan buat untuk diomongin, tetapi berat untuk dijalanin. Iya sih, ngomongnya gampang, cuma perlu 2 detik buat ngucapinnya, tapi untuk bener2 bisa move on, it takes time.. bisa bulanan, atau bahkan tahunan. Dan sekali lagiiii, move on ini bukan perkara gampang yaaa.. banyak orang yang udah punya pasangan jadi gak bahagia dengan hubungan yang dijalaninya hanya karena ada unfinished business dengan orang di masa lalunya, alias belum bisa move on!

Menyadari tentang bahaya gagal move on untuk masa depan, aku dan temen-temenku yang jomblo-jomblo ini bikin semacam unofficial support group, gak ter-declare sih, cuma kita sama-sama ngerti aja kalo kita ada untuk saling menguatkan, saling mendukung usaha-usaha move on teman-teman kita. tapi sampe saat ini ternyataaaaaa.. gagal! masing-masing dari kita ternyata masih punya unfinished business sama orang yang pernah punya tempat di hati kita. termasuk aku.. aku juga gagal move on.


bicara tentang gagal move on, sebenarnya udah dari dulu aku pengen banget move on dari laki-laki yang udah setahunan lebih ini merasuki pikiranku (you can read it on my previous posts). aku mencoba, mencoba, dan mencoba... tapi selalu aja, gagal! dulunya sebelum aku tahu perasaannya, saat aku berencana move on, entah kenapa, semesta selalu berkonspirasi untuk mempertemukan lagi aku dan dia. entah tiba-tiba dianya gak sengaja nyapa lagi, aku nya yang kebetulan ada urusan di tempat kerjanya, tiba-tiba dia nya ngajakin jalan, mampir ke rumah, dll. simple things like that made my moving on struggle becomes harder and harder!

setelah aku tau kalo ternyata dia juga suka sama aku, perjuangan move on jadi lebih berat. loh, sama-sama sayang, tapi kok malah move on? entahlah. banyak hal tentang dia yang bagaikan benang kusut di kepalaku, dan di hatiku juga. aku berusaha meluruskan benang yang kusut itu, tapi kayaknya cuma aku yang usaha. dianya santai aja. setiap aku nanya ke dia, bukan jawaban yang aku dapat, tapi akunya malah makin bingung sama pernyataannya.

Yang aku tahu, kata orang, kalau ada dua orang yang saling sayang, dua-duanya bakalan saling usaha, dua-duanya bakalan saling berjuang.. kata orang, kalo ada dua orang yang saling sayang, dua2nya akan saling cari cara supaya keep in touch, supaya saling tau kabar, supaya tetep deket walaupun gak bisa ketemu langsung. katanya sih gituuu.. tapi ini...

aku sempat berpikir, ini anak sebenarnya beneran suka apa nggak sih? kadang sikapnya suka berubah-berubah, kadang dianya suka cari perhatian (caper), kadang suka nunduk malu-malu kalo aku lagi mandangin dia, tapi suka curi-curi pandang juga kalo aku lagi di deket dia.. kalo aku lagi gak ada, dia suka nanyain tentang aku ke temanku, atau nyinggung-nyinggung supaya temenku itu ngomongin sesuatu tentang aku ke dia..

tapiiiiiii.. terkadang dia suka cueeeeeeeekkk bangeeeeeet.. banyak pesan-pesanku yang tak terbalas, banyak hal penting (menurutku) yang sebenarnya mau aku share ke dia, ceritain ke dia, tapi dianya angin-anginan.. terus lama-lama akunya lupa sendiri mau bilang apa.. begitu banyak pesan-pesanku yang bikin aku nyesel sendiri kenapa harus kirim ke dia.. mungkin hal-hal remeh-temeh kayak gini gak pernah penting bagi dia.

sebenarnya aku ngerti tentang kondisi dia yang pernah dia ceritain ke aku beberapa waktu yang lalu. aku ngerti dan aku gak akan memaksa. aku gak minta dia untuk ketemu aku setiap hari, atau seminggu sekali, atau sebulan sekali.. gak.. aku gak akan maksa. aku ngerti kok. tapi aku cuma minta sedikiiit aja kepedulian dia, kalo memang dia punya perasaan ke aku.

tapi, siapa aku? siapa aku untuk minta dia sedikit peduli ke aku? siapa aku? entah aku juga gak tau. mungkin hanya setitik debu di ujung sepatunya. entahlah. gak jelas. setahuku, setiap perempuan butuh kepastian; kalo sayang bilang sayang, kalo gak, bilang gak.. jangan di mulut bilang sayang, tapi di hati ternyata lain.. kalo memang mau sama aku, bilang.. aku bersedia nunggu kok.. kalo memang gak mau, gak suka, jangan bertingkah seolah-olah perasaan itu kita berdua yang rasa..

karena sikapnya yang gak konsisten itu, akhir-akhir ini aku berusaha moving on and letting go.. aku pikir, mungkin memang udah sifatnya yang seperti itu, mungkin itu cuma cara dia doang supaya hubungan pertemanan antara aku sama dia gak rusak, mungkin dia cuma pura-pura, dll. aku mencoba pelan-pelan mengikhlaskan. berat memang tapi pasti bisa seiring berjalannya waktu.

aku coba kuat-kuatin diri. biasanya kalo liat spanduk atau baliho salah seorang tokoh masyarakat yang punya nama yang sama dengan dia, aku bawaannya baper sendiri. tapi kali ini aku coba kuat-kuatin diri, mencoba biasa-biasa aja nanti kalo ketemu sama dia.. mencoba untuk menghindari hal-hal yang bisa bikin aku luluh lagi dengannya..

dan dia, kayaknya dia selalu dapat sinyal-sinyal tertentu kalo aku mau move on dari dia. mungkin dia nangkap sesuatu dari postingan di fb dan di bbm ku yang mulai menyinggung sesuatu tentang move on, karena dia tau cuma dia satu-satunya laki-laki di hati aku. dia tau kalo aku susah untuk sayang sama orang lain kalo aku udah sayang banget sama satu orang. dia tau. dia tau itu. makanya tadi sore, tanpa ada petir, hujan, badai, atau tanda alam apapun itu, dia tiba-tiba nelpon. gak lama sihh.. cuma 1 menit 49 detik doang. tapi itu berhasil bikin aku sedikit luluh. sedikit yaaa.. sedikit doang.. aku mulai kebal sepertinya.

aku mulai sadar, kayaknya dia gak rela kalo aku move on dari dia. dia selalu hubungi aku lagi kalo aku udah nyinggung soal move on. sebenarnya aku berusaha move on karena aku mulai capek dengan usaha-usaha ku yang gak dihargai, sikapnya yang angin-anginan, dll. aku gak ngerti gimana dia memaknai hubungan ini. dibilang teman, but we're more than just friends.. and yeah, we are friends.. dan mungkin sebagai teman, aku gak boleh berharap lebih atas sesuatu yang sebenarnya sama-sama kita rasakan.

dan aku mulai ngerasa dilema.. di satu sisi logika aku bilang karna sikapnya yang kayak gitu, seharusnya aku cari laki-laki lain yang bisa lebih menghargai aku. tapi hati aku bilang, aku sayang bgt sama dia.. dan sulit bagi aku untuk menyingkirkan dia. sulit untuk bisa suka sama laki-laki lain. aku udah pernah coba berkali-kali dan selalu gagal.

aku mulai capek karena tenyata setelah dia bikin aku gagal move on berkali-kali, sikapnya juga gak berubah.. masih aja gitu. dan dia juga gak bilang apa-apa, dia gak suruh aku untuk menunggu atau apa gitu.. padahal, kalau dia minta aku untuk nunggu, aku akan tunggu. kalau dia kasih pengertian, aku akan mengerti. aku gak akan maksa dia untuk selalu ketemu dan jalan bareng kayak pasangan-pasangan lain. aku akan bersabar untuk itu. aku tipe perempuan yang suka berjuang bersama. tapi dari dianya juga gak bilang apa-apa. aku jadi merasa diam di tempat. gak jelas mau ngapain dan harus ngapain. mungkin bagi dia aku cuma pilihan alternatif alias cadangan seandainya pemain utamanya berhalangan. atau mungkin dia sebenarnya gak se-sayang itu sama aku. entahlah.

Melihat sikapnya yang menyebalkan seperti itu dan gak berubah-berubah, maka saat ini aku sedang mengumpulkan tenaga untuk bisa move on. Mungkin suatu saat nanti seiring berjalannya waktu, aku akan bisa. Dan jika suatu saat nanti aku benar-benar pergi, aku hanya ingin dia tau bahwa sebenarnya bukan aku yang meninggalkan, tapi dia lah yang menyuruhku untuk pergi.

Sabtu, 08 Agustus 2015

Dear AF

9 Agustus 2015
2:14 a.m.

Dear AF,

Jika suatu saat nanti kamu membaca tulisan ini, aku ingin kamu tahu tentang hal-hal yang mungkin belum kusampaikan padamu.. Hal-hal yang sebenarnya ingin kusampaikan langsung padamu seandainya saja kita punya lebih banyak waktu untuk bersama.

Dear AF, kau pasti tahu perasaanku padamu. Sudah ku sampaikan padamu beberapa kali, sudah beberapa kali juga kau tanyakan padaku, dan sudah beberapa kali pula aku sampaikan bahwa itu kamu, kamu, dan kamu. Kau anggap aku bercanda, main-main. Padahal, mana pernah aku main-main dengan yang namanya perasaan? Bagiku, urusan hati bukanlah urusan yang main-main.

Ketika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu, kau bilang kau juga menyukaiku, hanya saja saat ini waktunya sedang tak tepat. Waktu. Saat itu waktulah yang menjadi tanda tanya terbesar dalam kepalaku. Ada apa dengan waktu? Ada apa dengan mencintaimu? Namun kini seiring berjalannya waktu kini aku mengerti..

Dear AF, ingatkah kau malam itu? Makan malam yang kemudian dilanjutkan dengan karaoke.. Mulai dari lagu Evanescene, Brian Adam, Bruno Mars, Avril Lavigne, Ada Band, Nidji, Boyzone, dan kemudian ditutup dengan lagu Westlife - More Than Words.. Aku masih ingat malam itu, saat kita menyanyikan lagu-lagu romantis, saat aku sadar kau yang saat itu duduk di sebelahku sedang menatapku dan tersenyum. Aku saat itu hanya membalas senyumanmu sambil bernyanyi dan menatap ke layar TV, pura-pura melihat lirik lagu yang sebenarnya sudah kuhafal. Tahukah kamu? Kamu selalu punya tatapan yang mampu meluluhkanku.. Dan aku, saat itu pura-pura untuk melihat ke arah yang lain sambil menata debaran jantungku yang tak karuan..

Sebelum kita keluar dari tempat karaoke, kau menunjukkanku sesuatu. Sesuatu yang kemudian kuketahui sebagai sumber dari kegelisahanmu selama ini.. sesuatu yang menyebabkan kita selama ini tak bisa bersama. Kau menjelaskan alasan-alasanmu. Aku mengerti. Aku sangat berterima kasih atas kejujuranmu malam itu.

Dear AF..
Tahukah kamu, malam itu aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini. Betapa tidak, ternyata orang yang selama ini kucintai, juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Mencintai dan dicintai - bukankah itu merupakan hal yang paling membahagiakan di dunia ini?

Tapi malam itu, aku juga merasa menjadi wanita yang paling menyedihkan di dunia ini ketika kau menyuruhku untuk mencari lelaki lain, menikah dan berbahagia dengannya. Kau katakan, seandainya saja kau bisa, mungkin sudah sejak dulu kita bersama. Mencintai, dicintai, tapi tak dipilih.. menyedihkan, bukan?

Dear AF..
Bagaimana aku bisa berbahagia dengan lelaki lain, jika jawaban dari kebahagiaan itu adalah kamu? Aku bukan wanita yang bisa dengan mudah jatuh cinta dengan orang lain. Selama setahun lebih ini, dalam ketidakjelasan kita ini, hanya kamu, kamu, dan kamu yang ada dalam pikiranku dan hatiku. Jangan kau pikir aku tak pernah mencoba. Aku pernah beberapa kali mencoba untuk move on darimu, pernah beberapa kali dekat dengan beberapa pria, namun aku selalu gagal, gagal, dan gagal. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri dengan berpura-pura memiliki rasa dengan orang lain, sementara seluruh hatiku telah terpaut padamu.

Dear AF,
Jika kau bertanya kenapa aku mencintaimu, entahlah.. aku pun tak tahu alasannya. Aku tak pernah mencintai seseorang sedalam ini. Kita telah saling mengenal sejak kita masih kecil, sejak kita belum mengerti apa itu cinta, apa itu memiliki rasa.. Yang aku tahu, saat ini aku mencintaimu. Aku tahu kebaikan-kebaikanmu. Aku juga tahu jelek-jeleknya kamu, norak-noraknya kamu.. tapi aku tetap suka. Bagiku, kau adalah sosok tanpa cela. Aku mencintaimu tanpa aku tahu mengapa..Bukankah cinta yang tulus itu adalah cinta yang tanpa alasan?

Dear AF,
Malam itu, aku berharap waktu berjalan lebih lambat. Aku belum ingin pulang. Aku ingin lebih lama bersamamu. Aku tahu kita tidak pernah bisa memastikan kapan kita akan bertemu lagi. Entah esok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau mungkin berbulan-bulan kemudian. Aku ingin lebih lama bersamamu, walaupun saat itu angin malam lebih dingin dari biasanya. Aku ingin sekali memelukmu, namun hatiku begitu kacau.. begitu banyak rasa yang bergemuruh di hati dan tanya yang bersahut-sahutan dalam kepalaku. Dan ketika perjalanan kita berakhir di depan pagar rumahku, aku berharap ini bukanlah yang terakhir kalinya.

Sesampainya aku di kamar, aku membeku selama lebih dari 30 menit. Setelah tersadar, langsung aku berwudhu, menunaikan beberapa rakaat sembari ingin mengadu kepada-Nya yang telah menciptakan rasa ini. Saat itu, aku menangis sejadi-jadinya, segila-gilanya.. Tuhan, mengapa ini begitu kejam? Mengapa di saat aku tahu ternyata selama ini ia memiliki perasaan yang sama denganku, di saat itu pula ia mau aku melepaskannya, melupakannya.. Tuhan, Kau pasti tahu lah betapa aku mencintainya. Kau pasti tahu tentang nama yang selalu ku selipkan dalam setiap munajatku pada-Mu, dalam setiap malam-malamku.. Si pemilik nama yang selalu kumohonkan penjagaan-Mu atas kesehatannya, keselamatannya, dan kebahagiaannya setiap kali aku merindukannya. Terkadang dia memang menyebalkan, namun itu tidak sedikitpun mengurangi perasaanku padanya. Aku tidak pernyah mencintai lelaki manapun sedalam ini, Tuhan.. Aku cuma mau dia.. cuma dia!

Malam itu, aku menangis sampai dadaku sesak dan kedua mataku sembab. Dan setelah itu, kau kembali berubah menjadi sosok yang menyebalkan seperti biasanya.

Dear AF,
Ingatkah pagi itu, perjumpaan kedua kita setelah malam itu..Kau berbaring, kepalamu berada di atas pahaku, aku membelai rambutmu, dan kau memejamkan matamu.. Tak lama kemudian, ada kepalaku yang bersandar di bahumu, ada kau yang membelai rambutku, ada kita yang tak berjarak, ada kita yang saling menatap, ada kita yang saling memperjelas perasaan kita masing-masing. Ada kehangatan, keindahan, dan kebahagiaan yang tak mampu kudefinisikan.

Namun kemudian, kau memintaku untuk melepaskanmu, melupakanmu.. Aku akan pergi melanjutkan studi dan akan kembali 2 tahun kemudian, dan kau akan melakukan sesuatu selama 8-10 tahun. Kau tak mau aku menunggu, begitu katamu.

"Aku tak bisa! Aku tak bisa meninggalkanmu!"
"Kamu pasti bisa, Sil! Nanti kamu akan bertemu dengan orang-orang baru. Kau pasti bisa melupakan aku. Pasti bisa!" begitu kau coba meyakinkanku.
"Pasti bisa, Sil. Kamu pasti bisa. Tahun ini usia kita 24 tahun. 10 tahun lagi kita akan 34 tahun. Aku tak mungkin membiarkanmu menunggu selama itu. Aku tunggu undangan dari kamu, ya!"

Dadaku serasa ditusuk ratusan sembilu. Menikah dengan orang lain? Tidak, tidak pernah terpikir olehku. Ini bukan hanya tentang tidak bisa move on darimu, tapi juga tentang aku yang TIDAK MAU move on darimu. Aku cuma mau kamu. AKU CUMA MAU KAMU! CUMA MAU SAMA KAMU!

"Apakah ada kemungkinan untuk kita menikah?" tanyaku.
"Kita bisa saja menikah, tapi, apa kamu sanggup menjalani hidup bersamaku? Sekalipun kita menikah, kita akan jarang bertemu. Nanti kalau kita punya anak, tak terurus. Apakah kamu sanggup?" tanyamu.
Aku mengangguk. Aku sanggup.
"Tidak. Ini berat. Kamu tidak akan sanggup, Sil," ujarmu.

"AF, kenapa kita tidak menikah saja?" tanyaku.
"Seandainya aku bisa, sudah dari dulu aku melamarmu, Sil." jawabmu.
"Tapi aku maunya sama kamu, AF.."
"Aku nunggu undangan dari kamu aja, ya, Sil.. Atau kamu mau nunggu undangan dari aku?" tanyamu.
Aku tertegun. Terkejut.

"Jika suatu saat nanti kamu mendapati undanganku, ada namaku dengan wanita lain yang berasal dari daerah lain, ketahuilah, itu bukan atas kemauanku. Itu adalah bagian dari sesuatu."

Aku menatapmu dalam-dalam. Aku tak rela jika kita harus berakhir seperti itu. Kau terlihat menahan diri agar air matamu tak tumpah di hadapanku. Begitupun aku, berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis di hadapanmu.

Dear AF,
Mengapa kita mencintai, lalu kemudian melepaskan?
Mengapa kita menyerah sebelum mencoba?

Dear AF..
Aku mengerti bahwa kita mungkin tidak seperti pasangan-pasangan lainnya..

Tapi sebenarnya, tak banyak pintaku
Aku hanya ingin jadi perempuan yang berfoto selfie denganmu sambil memamerkan buku nikah yang baru saja kita tandatangani bersama..

Aku ingin jadi perempuan yang halal kau kecupi keningnya, bibirnya..

Aku ingin jadi perempuan yang berbaring di ranjang yang sama denganmu, membangunkanmu di pagi hari, menyiapkan sarapan, membuatkan bekal untukmu..

Aku ingin jadi perempuan yang mendengarkan semua yang kaulakukan sepanjang hari. Bagaimana pekerjaanmu hari ini, apa saja kebahagiaan-kebahagiaan yang kau alami, apakah ada yang mengesalkanmu, apa yang membuatmu tersenyum hari ini.

Aku ingin jadi perempuan yang berbicara kepadamu tentang apa saja..
yang akan selalu menggenggam erat tanganmu hingga tangan itu menua..
yang akan selalu menatap matamu dengan binar-binar cinta, dan kelak menjadi perempuan yang menghapus air matamu..

Aku ingin jadi perempuan yang mencintaimu di kala sulit.
Menemanimu saat sakit.
Bertahan saat kau jatuh.
Menenangkanmu saat kau bersedih.
Bersabar saat kau marah.
Setia saat kita terpisah jarak.

Aku ingin jadi perempuan yang akan selalu menerima kejelekanmu.
Menghapus air matamu yang terus-terusan jatuh.
Tertawa di saat leluconmu mulai membosankan.
Memelukmu walau tubuhmu tak sekuat dulu lagi.
Membopongmu jika kau sudah tak kuat berjalan.
Bicara keras saat kau sudah tak mampu mendengar..

Dear AF..
Jika kau membaca tulisan ini
aku ingin kau tahu bahwa
Aku mencintaimu BUKAN karena apa yang kau miliki saat ini..

Aku bukanlah wanita yang sempurna..
Begitu juga denganmu
Namun bagiku, kau adalah ketidaksempurnaan yang selalu sempurna di mataku.

Dear AF,
Mengapa tak kita coba terlebih dahulu?


Dari perempuan yang tidak akan pernah menyerah,
S. A. N.

Kamis, 28 Mei 2015

Aku Ingin Dia Hidup Lebih Lama

“Sil, lagi dimana?”
BBM darinya di pagi menjelang siang ini tiba-tiba masuk ke HP ku. Tumben, pikirku.
“Lagi di rumah Dil. Kenapa?” jawabku.
Aku ingat sekitar seminggu yang lalu, sebelum berangkat ke Kuala Lumpur, ia menanyakan keberadaanku. Saat kutanyakan ada apa, ia menjawab “mau ketemu untuk yang terakhir kali.” Saat itu aku sedang memberikan psikotest di sebuah biro psikologi, jadi aku tak bisa menemuinya.
Sehabis membalas pesan BBM nya, aku dapat telepon dari Kak Norma yang membicarakan tentang rencana mengasistensi teman-teman GEMPUR dalam berkegiatan bersama pengungsi Rohingya. Aku yang waktu itu baru selesai mandi, masih memakai handuk, tiba-tiba dipanggil oleh adikku Farras. “Ada kawan kakak di bawah,” begitu katanya.
Segera aku berkemas, menemui siapa yang Farras bilang sedang menungguiku di bawah. Dengan pakaian seadanya, aku temui dia di bawah. Ternyata dia. Ia berdiri di tiang dekat teras rumahku, mengenakan kemeja lengan panjang hitam, celana panjang berbahan jeans dengan warna biru tua, kaca mata berbingkai hitam, dan rambutnya yang masih tetap gondrong, tebal dan indah itu.
“Eh, qe (kamu) Dil. Udah lama? Masuk lah,” ujarku.
“Gak usah Sil, di sini aja,” kemudian ia langsung duduk di tangga teras rumahku. Aku pun duduk di sebelahnya.
“Apa kabar?” tanyaku memulai percakapan. Ia hanya tersenyum. Aku bisa melihat matanya dari balik kaca mata berlensa tebal yang dikenakannya. Oh!
“Kayak mana pengungsi Rohingya, Sil?” ia bertanya padaku, dan aku pun menceritakan pengalamanku selama di sana.
Belum selesai aku bercerita, dia berkata padaku “Sil, keluar yok?”.
Kami pun sepakat untuk keluar. Setelah menungguku berkemas sekitar 5 menit, kami memutuskan untuk pergi ke suatu tempat makan yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Dia yang menentukan tempat. Alasannya, ia ngidam salah satu menu yang ada di tempat itu. Selama di KL, ia merasa lidahnya tidak cocok dengan makanan di sana.
“Sil, ada asuransi kan?” tanyanya.
“Ada. Kenapa emangnya?”
“Aku mau balap nih. Hahaha,” jawabnya. Duh, dasar anak itu, selalu aja kalo bawa motor balap-balap. Aku duduk di belakangnya, dan meletakkan tanganku di punggungnya.

Setelah sampai di sana, kami melanjutkan perbincangan yang tadi sempat terputus. Kami duduk berhadapan. Setelah menceritakan tentang keadaan pengungsi Rohingya, aku bertanya mengenai pengalamannya selama di KL.
“Aku di sana bukan jalan-jalan, Sil. Aku pergi berobat. Dua orang kawan aku itu cuma temenin aku aja,” jawabnya.
“Berobat? Sakit apa qe?” tanyaku. Kemudian ia menceritakan tentang penyakitnya. Pengentalan darah, begitu katanya. Ia pernah menceritakan tentang penyakitnya ini kepadaku sekitar beberapa bulan yang lalu. Ia telah menderita penyakit ini sejak beberapa tahun yang lalu.
“Jadi kenapa waktu itu, sebelum berangkat qe bilang mau ketemu aku untuk yang terakhir kalinya?” tanyaku.
“Aku kira aku gak bisa balik lagi ke sini. Takut kali aku.”
“Terus sampai di sana, aku ketemu sama ayahnya teman aku. Dia lah yang semangatin aku. Cara dia ngomong mirip sama almarhum ayah aku,” tambahnya lagi.
Aku bisa lihat binar-binar kesedihan itu dari matanya dan raut wajahnya. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau dia meninggal.
Ku tatap matanya selama selama beberapa detik. “Aku gak mau qe meninggal, Dil,” ujarku.
“Karna aku gak mau mati, lah, makanya aku berobat ke sana,” jawabnya sambil tertawa. Seketika ada sedikit rasa bahagia yang muncul saat melihatnya tertawa.
“Gimana Sil, udah berhasil move on?” tanyanya yang sekaligus memecah tawaku.

Seketika aku teringat sekitar 1-2 bulan yang lalu, saat aku mengatakan bahwa aku ingin move on, dia adalah orang yang paling banyak menanyaiku tentang kenapa aku mau move on, aku mau move on dari siapa, dll. Sepertinya dia lupa ingatan bahwa dia tau perasaanku terhadapnya, atau mungkin hanya sekedar ingin diyakinkan saja. Entahlah. Ketika aku bilang bahwa aku mau move on dari dia, dia bilang aku bercanda. Setelah aku katakan “Dil, mana pernah aku bercanda sama urusan yang kayak gini,” dia malah diam. Tengah malamnya, sebelum tidur, ia menelponku selama 4 menit 27 detik, hanya untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja, dan kemudian keesokan harinya ia tetap menjadi seperti biasa – sosok yang menyebalkan.
Dan sejak itulah aku memilih menjadi sosok yang juga menyebalkan untuknya. Aku mulai ketus, mulai suka mengejeknya. Intinya, aku bertingkah sebagaimana ia memperlakukanku. Mungkin dia memang tipikal orang yang gak mempan kalo dibaik-baikin, begitu pikirku.

Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, tepat di depan lorong rumahnya, tiba-tiba ban motornya bocor. Akhirnya ia menyuruhku masuk ke rumahnya, sementara ia pergi ke tempat tambal ban di dekat rumahnya. Aku hanya duduk di ruang tamu rumahnya kira-kira sekitar 15-20 menit. Kemudian ia kembali, mengambil laptop di kamarnya, dan kemudian kami pun melanjutkan perjalanan.
Di perjalan pulang, aku mengomentari rambutnya yang panjang alias gondrong. “Ikatin lah, Sil,” pintanya. Kemudian ku kucir rambutnya dengan jari-jemariku, namun karena tidak ada karet, jadi kulepaskan lagi rambutnya. Tak lama kemudian kami sampai ke rumahku. Setelah saling menuturkan terima kasih, kami pun berpisah.

Pertemuan dengannya hari ini lagi-lagi membuatku gagal move on!
Sebenarnya aku sudah dari dulu berusaha untuk move on darinya, namun selalu gagal. Ada saja hal-hal yang membuatku akhirnya kembali lagi padanya. Aku tipikal orang yang sulit jatuh cinta, namun sekali aku mencintai seseorang, aku akan mencintainya secara mendalam.
Sore ini aku memikirkan kembali tentang perasaan itu: mengapa aku bisa mencintai seseorang sesantai ini? Tak ada rasa menggebu-gebu sedikitpun.
Kemudian aku menyadari bahwa rasa ini adalah rasa sayang yang benar-benar sayang. Aku hanya ingin dia selalu bahagia, aku ingin membantunya, aku ingin dia mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku tahu banyak orang yang jika ia mencintai seseorang, maka ia ingin sekali memilikinya. Memang bahagia sekali rasanya jika orang yang kita cintai juga mencintai kita, dan lebih membahagiakan lagi jika cinta itu terpaut dalam suatu ikatan. Aku mengerti akan hal ini, namun aku tidak terlalu berharap. Orang bilang kekecewaan selalu datang akibat dari harapan yang tak kesampaian. Aku mengerti. Bahkan jika suatu saat nanti ia lebih memilih orang lain pun, aku akan tetap berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri, seperti yang selama ini  aku lakukan. Jika yang ia inginkan adalah wanita berparas cantik dan rupawan, apalah aku ini yang hanya bermodalkan ‘baik’ semata?

Mendengar ceritanya tentang penyakitnya membuatku agak sedih. Ia sering bersikap seolah-olah hidupnya tak lama lagi. Ia pernah mengatakan padaku bahwa penyakitnya ini membuatnya takut berkomitmen dengan perempuan. Tidak. Tidak. Aku tidak ingin dia menyerah. Aku ingin ia hidup selama mungkin. Aku ingin melihatnya bahagia lebih lama lagi. Aku ingin dia hidup lebih lama. Aku ingin melihatnya menikah, meskipun itu bukan denganku. Aku ingin dia bahagia. Bahagia lebih lama lagi.

Hari ini ketika bertemu langsung dengannya, aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung kepadanya. Tanggal 20 Mei 2015 yang lalu ia genap berusia 24 tahun. Ah, selamat ulang tahun untuknya, yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini. Semoga di tahun-tahun berikutnya aku masih bisa terus mengucapkan selamat ulang tahun untuknya setiap tanggal 20 Mei.


Tuhan, aku ingin dia hidup lebih lama lagi..

Senin, 30 Maret 2015

ikhlas dan bangkit lagi

Aku tak tahu harus memulai cerita ini dari mana..

Jika harus menulis semua cerita tentangmu, aku tak tahu harus berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk menuliskan semua bagiannya.

Yang jelas, ini tentangmu.. pria dengan senyuman terindah, mata terindah, dan rambut terindah yang pernah aku lihat di muka bumi ini, dan kemudian dipadukan dengan perhatian, kepedulian, dan kecerdasan yang luar biasa. Pria yang membuatku mengagumi betapa hebatnya Tuhan yang telah menciptakanmu dengan begitu sempurnanya.

Ini tentang kamu;
Pria yang dulu suaranya begitu candu; selalu kudengar sebelum tidur.
Pria yang manisnya lebih manis dari Cornetto Red Velvet dan lebih lembut dari sebatang cokelat Cadburry yang lumer di dalam rongga mulut.
Dan pria yang punya personality seperti satu pan pizza; terdiri dari berbagai macam variasi, berbagai rasa, namun aku tak akan pernah bosan untuk menikmatinya.

Dear kamu, pria yang aku maksud..
Jika kamu membaca ini, aku hanya ingin kamu tahu..
Aku telah berjanji kepada diriku untuk tidak lagi menulis namamu di buku harianku sejak februari yang lalu.
Dan aku berusaha untuk ikhlas.. bahwa walaupun kita pernah saling suka, tapi tidak berarti kita bisa bersama.

aku sedang belajar untuk ikhlas dan berusaha untuk move on.

tapi pagi ini..
pertemuan denganmu membuatku agak goyah
kau masih memiliki tatapan itu..
tatapan yang dulu pernah menghipnotisku
dan membuatku buta akan laki-laki lain selain kamu.

kita tak banyak bicara
aku tahu kau sedang sibuk
tapi hanya dengan melihatmu saja aku sudah senang
setidaknya kau masih dalam keadaan baik-baik saja.

kita tidak banyak bicara
namun kehangatan tatapan dan senyumanmu,
serta caramu memandangku
mengisyaratkan aku satu hal;
kau masih peduli padaku.

tapi aku telah mengikhlaskan perasaan ini.
sungguh, aku sudah ikhlas.

hanya saja,
aku kesulitan untuk bangkit lagi dan mencari yang lain.

Banda Aceh,
Di penghujung bulan Maret 2015

Sabtu, 17 Januari 2015

Cinta, Logika, Doa.

Pernahkah kau mencintai seseorang sampai-sampai kau lupa tentang dirimu sendiri?
Setiap hari, siang dan malam hanya pikiran tentangnya yang ada di dalam kepalamu, hingga kau tak bisa berkonsentrasi, tak bisa tenang jika belum mendapat kabar darinya.

Pernahkah kau mencintai seseorang sehingga membuatmu merasa dirimu ini bukanlah dirimu yang biasa?
Kau yang biasanya cuek dan tak peduli, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang selalu mencari alasan agar tetap bisa berhubungan dengan ia yang kau cinta.

Pernahkah kau mencintai seseorang sampai-sampai kau merasa bahwa kau yang biasanya berbicara lantang di hadapan banyak orang,
Tiba-tiba harus mengendalikan gemuruh yang ada di dadamu, dan menjadi canggung ketika berbicara dengan dia yang kau cinta.

Pernahkah?

Aku pernah. Saat ini aku sedang mengalami itu.

Aku sedang mencintai seseorang yang aku tak tahu sejak kapan tepatnya rasa itu mulai muncul.
Aku tak tahu sejak kapan aku menjadi candu olehnya, selalu mencari-cari alasan agar dapat terus berkomunikasi dengannya, selalu ingin berada di dekatnya, selalu ingin dia, dia, dan dia,
Aku menjadi buta waktu dan kehilangan arah jika itu tentangnya.

Biasanya, aku tidak mudah untuk jatuh dalam sesuatu yang dinamakan 'cinta'.
Bahkan dengan kekasih-kekasihku sebelumnya, bukan aku yang lebih dahulu mencintai mereka.
Aku adalah orang yang mereka dambakan, dan aku akan melihat hal-hal baik dalam diri mereka sebelum aku memilih mereka. Dan setelah itu barulah cinta timbul dari kebiasaan dan kebersamaan. Dulu, bagiku begitulah cinta yang seharusnya.

Aku adalah orang yang selalu mengedepankan logika,
Dalam urusan cinta pun, bagiku selalu harus ada alasan logis untuk menyukai seseorang.
Entah karena berlandaskan kekaguman, atau kelebihan-kelebihan lain yang menimbulkan ketertarikan.

Tapi dengannya, logika ku seolah mati.
Aku menyukai segala hal tentangnya
Bahkan ketika aku tau ketidaksempurnaannya pun aku tetap suka.
Ketidaksempurnaannya adalah sempurna bagiku.
Aku menyayanginya secara utuh. Apa adanya.

Dengannya, aku menjadi seseorang yang berbeda..

Dengannya, aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa bebas menceritakan apapun, termasuk hal-hal yang tak mungkin ku ceritakan pada orang lain.
Dengannya, aku merasa nyaman. Tak pernah senyaman ini.

Ia adalah candu sebenar-benarnya candu bagiku.
Aku suka menatap matanya dari balik kacamatanya,
Aku suka melihat senyumannya dan lesung di sudut bawah bibirnya,
Aku selalu ingin membelai rambut hitam tebalnya,
Aku selalu ingin memeluk punggungnya,
Aku selalu ingin mendengar suaranya setiap hari,
Bagiku, segala hal yang ada padanya adalah keindahan.

Dia tak tahu
betapa hebatnya gemuruh dalam dada ini saat bersamanya
betapa senangnya aku saat ia bersikap manis padaku
betapa girangnya aku setiap habis berbicara dengannya di telepon
betapa aku ingin membekukan waktu setiap bersamanya
agar bisa lebih lama dengannya..

Dan aku..
Aku tak pernah menyukai orang segila ini.

Aku tergila-gila padanya
Sehingga di mataku tak ada pria lain yang lebih baik darinya.
Aku terlalu sibuk mencintainya
Sehingga tak punya waktu untuk jatuh cinta kepada yang lain.

Aku mencintainya sehingga aku merasa
Bahagianya adalah bahagiaku
Resahnya adalah resahku juga.
Aku selalu ingin menjadi teman dalam sepinya

Aku mencintainya tanpa aku tahu alasannya apa.
Aku percaya bahwa cinta yang sebenar-benarnya cinta adalah mencintai seseorang tanpa alasan, tanpa syarat..

Aku mencintainya bukan karena ketampanannya,
bukan karena kebaikannya,
bukan karena ia pandai atau berbakat,
bahkan bukan pula karena ia mencintaiku.

Aku mencintainya karena aku mencintainya.
Itu saja.
Tak ada alasan lain.

Aku mencintainya tanpa aku mengharapkannya untuk mencintaiku balik
Bahkan jika suatu saat nanti dia dengan yang lain,
Akan selalu ada ruang untuknya di dalam hati ini.

Mungkin aku bukanlah wanita paling sempurna di dalam hidupnya
Akan selalu ada wanita lain yang lebih cantik dan lebih menarik dariku.
Aku tak berharap ia akan memilihku
Aku hanya bisa mengadu pada Tuhanku yang Maha Kuasa
Tuhan tahu ada namanya dalam setiap munajatku..

Tapi aku percaya,
Tuhan tak pernah salah dalam memilih
Jika memang dia orangnya,
Akan selalu ada jalan
yang menuntunnya kembali padaku..


*P.S:
Jika kau membaca tulisan ini dan kau merasa ini adalah tentangmu,
Aku ingin kau tahu bahwa aku adalah wanita yang lidahnya selalu kelu
setiap ingin mengutarakan rasa ini padamu..


Now Playing: Glenn Fredly - Malaikat Juga Tahu

Senin, 29 Desember 2014

Tunggulah Aku Memantaskan Diri Untuk Menjadi Lelakimu

"Selamat Ulang tahun."

Begitulah isi pesan singkat yang masuk ke ponselku pada pukul 14.47 siang ini. Baru kubaca sekitar pukul 17.30 sore, saat kuhempaskan tubuh ke ranjang, setelah lelah seharian beraktivitas dan kurang tidur di malam sebelumnya.

"Terima kasih ya :D," jawabku singkat.

"Sisil lagi sibuk?" ia bertanya melalui sms.

"Enggak. Ada apa?"

"Aku telpon boleh?" tanyanya.

"Boleh."

Tak lama kemudian ponselku berbunyi.

"Hallo, assalammualaikum," sapaku.

"Walaikumsalam. Selamat ulang tahun, Sil." Ia mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Aku masih mengenal suaranya, laki-laki yang sedang berbicara denganku ini.

"Makasi yaa. hehe.. kamu inget aja rupanya." aku mencoba berbasa-basi sedikit.

Kemudian aku dan laki-laki ini saling menanyakan kabar masing-masing. Sudah lama sekali aku tak mendengar kabarnya dan hampir tak pernah lagi aku melihat postingan terbaru di media sosialnya. Ternyata dia sudah selesai kuliah dan saat ini bekerja sebagai asisten lab di kampusnya.

Ia lalu menanyakan padaku perihal rencana melepas masa lajang. Jujur, aku masih belum memiliki rencana apapun soal itu. Namun pertanyaannya tersebut membuat pikiranku kembali lagi ke masa ketika pertama kali aku berkenalan dengannya.

Waktu itu, dua tahun yang lalu.. aku sedang berada di salah satu warung kopi di Banda Aceh. Sore itu, aku berencana pulang, namun hujan menghentikanku. Aku tak mungkin sendirian menunggu labi-labi yang lewat di depan warung kopi itu saat hujan sedang lebat-lebatnya. Jadi aku memutuskan untuk menunggu sebentar sampai hujan agak sedikit reda.

Sambil menunggu hujan reda, aku memutuskan untuk memainkan game yang ada di ponselku. 15 menit bermain game, tiba-tiba seseorang mengetuk mejaku.

"Heh, mentang-mentang udah ada BB sombong kali, ya.."

Kuangkat wajahku, melihat siapa yang tiba-tiba mengetuk mejaku. "Eh, Kiiiiiii!!! Aku pikir siapa lah!" Ternyata Kiki, teman lamaku.

"Itulah, udah ada hape baru, gak liat-liat orang lagi, ya! Mentang-mentang.. Sendirian aja?" tanyanya.

"Iya nih. Mau pulang, tapi hujan. Ya, bentar-bentar lagi lah, pulangnya. Eh, kalian duduk, lah." Aku menyodorkan dua kursi di depanku. Itu pertama kali aku bertemu denganmu yang saat itu sedang bersama Kiki. Kau saat itu menggunakan baju kaos berwarna biru, celana jeans, kaca mata besar berlensa tebal dengan bingkai berwarna hitam. Wajahmu orientalis, kulit putih, dengan sedikit bekas jerawat di pipi. Saat itu kau tidak banyak bicara, lebih banyak menunduk dan menyimak pembicaraanku dengan Kiki, sambil sesekali ikut tertawa jika kami membahas hal-hal lucu. Namun kemudian malamnya saat aku mengecek facebook ku, aku melihat kau mengirimkan permintaan pertemanan untukku dan meng-add BBM ku juga. Dari situ lah kisah kita dimulai...

Kau saat itu begitu pemalu. Sering aku mendapat notifikasi dari kau yang me-like postingan-postingan di facebook ku, tanpa pernah mengomentari apapun. Tapi kemudian aku tahu bahwa kau sering bertanya pada Kiki mengenaiku. Iseng, waktu itu aku coba menyapamu duluan melalui BBM, hingga kemudian berlanjut ke pembicaraan telepon.

Saat pertama kali berbicara denganmu, aku heran mengapa kau begitu pasif. "Ngomong sama aku ngebosenin, ya?" tanyaku pada waktu itu. Namun kemudian kau membantahnya. Kau bilang ini adalah kali pertama kau berbicara melalui telepon dengan seorang perempuan dan dengan durasi yang lumayan panjang. "Aku gugup kalau bicara dengan cewek, Sil. Maaf." begitu jawabmu.

"Ya ampun! Udah 21 tahun tapi masih takut ngobrol sama cewek? Helloooo.. Kamu gak boleh kayak gitu terus.. nanti kamu gak bisa dapetin cewek! Ayoo biasain dong bergaul sama cewek!"

"Ya udah, kalo kamu malu, kamu boleh biasain sama aku. Hahaha.. gak perlu malu-malu ah sama aku, ntar malah malu-maluin, lagi. Anggap aja aku ini sama kayak temen-temen cowok kamu yang lainnya." Aku menawarkan diri supaya kamu bisa percaya diri dalam bergaul dengan lawan jenis. Begitu saja pada awalnya.

Ternyata benar kata orang, cinta dapat tumbuh karena terbiasa. Setidaknya begitulah yang terjadi di antara kita berdua. Kau yang saat itu sudah terbiasa denganku, pada malam itu mengatakan ketertarikanmu padaku.

"Kenapa kamu bisa suka sama aku?" tanyaku penuh heran.

"Aku gak tau, Sil. Dari awal aku ketemu Sil, aku merasa Sil itu berbeda. Sil orang yang menyenangkan. Itu kesan pertama aku. Tapi semakin aku kenal Sil, semakin aku menyukai kepribadian Sil . Sil baik sama aku."

"Tapi, tapi kenapa aku? Aku ini enggak cantik, loh. Aku gak tinggi, gak langsing. Secara fisik, aku bukanlah cantik yang didefinisikan oleh kebanyakan laki-laki."

Kamu hanya diam.

"Kenapa aku? Kenapa gak perempuan lain?" tanyaku lagi.

"Karena aku gak punya alasan untuk suka sama perempuan lain selain Sil!"

Kali ini aku yang terdiam. Kita berdua larut dalam keheningan selama beberapa menit, bahkan aku bisa mendengar suara jangkrik yang berasal dari rawa-rawa di sebelah rumahku.

"Kenapa baru sekarang bilangnya, saat kita udah jauh gini?" Aku memecahkan keheningan dengan bertanya lagi. Jujur, waktu itu terlalu banyak 'kenapa, kenapa, dan kenapa' di dalam otak ku.

"Karena aku gak punya nyali untuk ngomong langsung di depan Sil! Seumur hidup, baru ini keberanian terbesar aku sama perempuan. Sama Sil."

Dan kemudian kita terdiam lagi..

"Dengar, Sil. Aku ngomong kayak gini bukan berarti aku minta Sisil untuk jadi pacar aku, bukan. Bukan. Aku cuma gak tahan aja untuk nahan perasaan ini. Semakin aku tahan, semakin susah aku kendaliin. Aku cuma bilang aja karena cuma Sisil satu-satunya teman perempuan yang akrab sama aku."

"Aku tau, aku bukan cowok idaman Sisil. Aku bukan aktivis, atau orang yang bisa Sisil ajak diskusi terkait masalah-masalah sosial yang Sisil pikirin. Aku gak ngerti tentang itu. Aku cuma ngerti tentang ilmu bumi, Sil. Aku ini laki-laki yang introvert banget, bukan tipe laki-laki humoris kayak yang Sisil suka." tambahnya.

"Aku juga sadar, Sisil gak mungkin suka sama aku.." kali ini nada suaranya agak melemah.

"Sebenarnya kamu laki-laki yang menarik, kok. Kamu gak kayak laki-laki lain yang caper dan sok asik. Kamu bener-bener apa adanya." Aku berusaha merespon pengakuannya.

"Aku suka Sil, tapi aku gak berani minta Sil jadi pacar aku. Sil layak untuk dapatin yang lebih baik dari aku." Entah kenapa aku jadi agak sedih saat dia berkata seperti ini.

"Tapi aku akan berusaha Sil, supaya bisa jadi laki-laki yang layak buat Sisil."

***

Kembali ke percakapan di telepon sore ini, masih membahas tentang rencana mengakhiri masa lajang.


Melalui suara yang masih ku kenal itu ia memintaku untuk menunggu hingga ia siap. Aku bertanya: "Sampai kapan?"

"Hingga waktu yang tak bisa kupastikan," jawabnya. Suasana tiba-tiba menjadi hening.

"Tunggulah aku memantaskan diri untuk menjadi lelakimu, Sil." Ujarnya seketika memecahkan hening.


"Tapi jika nanti ada laki-laki lain yang mampu memikat hati Sisil, aku ikhlas kalau Sisil lebih memilih dia. Mungkin kita enggak jodoh. Tapi aku yakin Tuhan gak pernah salah. Sesuatu yang memang ditakdirkan untuk menjadi milik kita, gak akan mungkin tertukar dengan punya orang lain. Kalau memang Sisil yang jadi jodoh aku, sejauh apapun kita pergi, pasti akan ada cara Tuhan untuk menyatukan kita kembali. Tapi kalo memang bukan, ya mau gimana lagi. Mungkin bukan aku yang terbaik buat Sisil." Kali ini aku merasa pembicaraan ini agak mendalam.


"Iya, kamu benar," cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Kemudian hening selama beberapa detik.


"Sil, di sini udah mau maghrib. Aku siap-siap mau ke mesjid dulu, ya."

"Iya. Makasi ya udah nelpon aku." 
"Iya, sama-sama. Udah dulu, ya. Assalammualaikum."
"Walaikumsalam." Klik! Telepon pun terputus.