Jumat, 26 Agustus 2011

Untukmu Guru


Sebelumnya saya minta maaf, tujuan saya menulis ini bukan untuk mendiskreditkan profesi guru sebagai tenaga pengaajar, namun hanya sebagai ajang untuk membuka pikiran kita mengenai dunia pendidikan semata.

Dikutip dari Wikipedia.org , Guru (dari Sanskerta: गुरू yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat") adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Orang India, China, Mesir, dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapat keselamatan dan dihormati bahkan lebih dari orang tua mereka.

Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Untuk dapat mendidik, seorang guru tentulah harus lebih pintar daripada muridnya, berwawasan luas, serta paham betul mengenai pelajaran yang ia sampaikan kepada muridnya. Jika tidak lebih pintar dari murid, bukan guru namanya.

Selain pintar, untuk menjadi guru juga diperlukan kesabaran dan kelembutan hati. Menghadapi banyak murid dengan berbagai macam tingkah laku memang bukan suatu perkara mudah, terlebih lagi setiap murid memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Oleh karena itu, selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, guru juga harus cerdik, dalam artian mampu menggunakan berbagai macam metode untuk menangani berbagai macam tingkah laku dan kemampuan peserta didik.

Saya ingat betul, sekitar dua tahun yang lalu, saat saya baru saja diterima di program studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, saya bersama beberapa orang teman menjumpai bapak dr. M. Yani, dosen wali kami yang saat itu sedang menjabat sebagai Kepala Program Studi sekaligus Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Beliau memberikan kami beberapa arahan dan berbagai masukan mengenai kehidupan sebagai mahasiswa.

Beliau berkata: “sebenarnya untuk menjadi dokter dan psikolog itu tidak harus pintar, yang penting mampu memahami dan memiliki skill yang baik saja.”

“Orang pintar itu diperlukan di jurusan Teknik. Mereka harus pintar matematika, fisika, dan ilmu-ilmu lainnya. Bagaimana mau bangun rumah orang kalo matematikanya gak kuat. Salah-salah nanti roboh bangunannya karena hitungannya gak pas.” Sambung Pak Yani.

“Selain itu, orang-orang ekonomi juga harus pintar, karena mereka adalah para pemikir, penentu kebijakan, serta harus mampu melihat peluang, melihat kondisi pasar.”

“Tahukah kalian apa satu lagi pekerjaan yang didalamnya harus ada orang pintar?” tanya Pak Yani.

“ Guru, pak!” jawabku spontan.

“Iya. Betul sekali. Guru.”

“Hanya saja sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Orang-orang berbondong-bondong masuk kedokteran. Jika dibandingkan antara kedokteran dan guru, maka yg memilih guru sebagai pilihan pertama sangat sedikit sekali. Akhirnya sekarang, anak-anak pintar banyak di kedokteran, dan anak-anak yang kurang pintar malah banyak ada di FKIP. Walaupun ga semua, ada juga di FKIP yang pintar-pintar.” Kata Pak Yani.

Jika ditelusuri lagi, maka apa yang dikatakan oleh pak Yani ada benarnya juga. Saya memiliki beberapa orang teman saat SMA yang saya anggap kurang pintar (terlihat dari bagaimana kesehariannya dan nilai-nilai pelajarannya), namun kemudian mereka menjadi mahasiswa FKIP, terutama FKIP matematika, fisika, kimia, biologi. Saya heran bukan main. Namun ada juga teman-teman yang benar-benar pintar dan kemudian kuliah di FKIP.

Mungkin pihak universitas perlu melakukan kajian lagi, terutama dalam hal seleksi mahasiswa baru, bagaimana caranya agar program studi keguruan ini diminati oleh para calon mahasiswa baru yang berotak cemerlang, menentukan passing grade yang lebih tinggi, serta tidak memasukkan program studi keguruan ke dalam program studi pilihan dalam Ujian Mandiri untuk tetap menjaga kualitas calon tenaga pendidik yang nantinya akan bertugas untuk mencerdaskan bangsa.

Selain itu pacar saya juga pernah punya pengalaman bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah bimbingan belajar. Setiap orang yang melamar menjadi tenaga pengajar harus melalui tahap seleksi. Nah, pacar saya ini termasuk dalam bagian orang yang menyeleksi calon tentor. Menurut penuturannya, tak sedikit calon tentor yang berasal dari FKIP tidak bisa micro teaching dan memiliki skill penanganan kelas yang buruk. Namun ada juga calon tentor dari FKIP yang mampu melakukan dengan baik. Hanya yang terbaik saja yang terpilih.

Saya ingat saat saya masih duduk di bangku SMA, saat itu semester genap dan ada banyak guru PPL di sekolah kami. Pada suatu hari ada seorang guru PPL wanita mengajar di kelas kami menggantikan guru kami yang sedang berhalangan hadir. Guru PPL tersebut mengajar dengan suara yang terbata-bata, kelihatannya gugup, dan tak satupun dari kami mengerti apa yang ia sampaikan.

Kebetulan di kelas kami ada seorang murid yang terkenal bandel se-SMA 3, sebut saja A. Si A tampak bosan, kemudian ia menghujani guru PPL tersebut dengan berbagai pertanyaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan materi yang disampaikan, sedangkan murid-murid lain ikut tertawa melihat interaksi antara si A dan guru PPL tersebut yang menurut mereka lucu.

Guru PPL tersebut terlihat semakin gugup dan salah tingkah. Ia tak mampu melawan, memberi peringatan kepada A dan tidak mampu menertibkan suasana kelas yang riuh. Mukanya memerah, dan kelihatan seperti sedang menahan sesuatu. Kemudian pada saat bel istirahat berbunyi, secepat mungkin guru PPL tersebut pergi meninggalkan kelas dengan membawa semua peralatan yang tadi ia gunakan saat mengaajar.

Ketika saya dan teman-teman saya sedang berjalan menuju kantin, kami melewati lab. Kaca lab yang berwarna transparan itu memungkinkan kami untuk melihat ke dalam lab. Tampak guru PPL yang tadi mengajar di kelas kami kini sedang menangis terisak-isak dan beberapa guru PPL lain sedang mengelilinginya dan mencoba menenangkannya.

Dari kejadian itu saya dapat menarik kesimpulan : sepertinya guru tersebut kurang siap secara mental. Ia tampaknya belum mempersiapkan dirinya atas situasi terburuk yang menimpanya, ia belum mempersiapkan apa-apa saja yang harus ia lakukan jika ia ‘diserang’ oleh murid seperti A, dan belum mempersiapkan langkah apa yang harus dilakukannya jika suasana kelas menjadi riuh dan tak terkendali.

Saya pernah bertanya kepada teman saya mengenai kondisi tenaga pendidik saat ini yang menurut saya sangat disayangkan dari segi kualitas. Dan teman saya itu berkata “yah, mereka kan jadi guru karena biar bisa jadi PNS aja. Datang ke kelas, ngajar, yg diajar entah apa, terus pulang. Makanya beginilah kondisi pendidikan Indonesia sekarang.”

Ah, saya rasa tidak begitu juga. Saya percaya bahwa masih banyak guru-guru di luar sana yang berdedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan dan tidak berorientasi pada materi semata. Bagaimanapun pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang tidak mudah dan juga melelahkan. Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitu pula dengan guru. Karena Guru juga manusia.


Sekali saya minta maaf, tujuan saya menulis ini bukan untuk mendiskreditkan profesi guru sebagai tenaga pengajar, namun hanya sebagai ajang untuk membuka pikiran kita mengenai dunia pendidikan. Bagaimanapun saya sangat menghormati dan menghargai profesi guru. Banyak sanak saudara saya yang berprofesi sebagai guru: alm. Nenek saya, kakek saya, tante, om, sepupu saya dan juga saudara-saudara saya yang lain juga banyak yang bekerja sebagai guru.




(Berhubung ini hampir tanggal 2 September, jadi saya sekalian mau mengucapkan SELAMAT HARI PENDIDIKAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM. MAJU TERUS DUNIA PENDIDIKAN ACEH! J )

Saya, lima tahun yang akan datang


Mari berkhayal sejenak…

Apa yang kamu bayangkan tentang 5 tahun yang akan datang?
Seperti apa dirimu kelak?

Hmmm… 
Saya sedang membayangkan diri saya sendiri 5 tahun yang akan datang..

Lima tahun yang akan datang….

Saya akan berumur 25 tahun. Belum terlalu tua kan?
Tubuh saya sedikit lebih langsing (ngarep),

Saya mungkin (insya Allah) telah menyelesaikan studi saya..
Nama saya mungkin akan menjadi:
SILFANA AMALIA NASRI, S.PSI, M.PSI, PSIKOLOG.

Nama yang lumayan panjang, bukan?


Lima tahun yang akan datang..
Mungkin saya akan sedang berdiri di depan kelas..
Mengajar mahasiswa..

Atau mungkin saya sedang di dalam ruang praktek..
Sibuk dengan klien..

Atau mungkin saya melakukan keduanya:
Mengajar dan membuka praktek..
Kedengarannya menarik..

Lima tahun yang akan datang…..
Insya Allah saya akan lebih mapan..

Lima tahun yang akan datang..
Mungkin saya memiliki cita-cita yang baru,
Cita-cita yang berbeda dengan yang saya miliki sekarang..
Atau justru masih mengejar impian yang sama..

Lima tahun yang akan datang..
Saya harap Tuhan masih memberi saya umur, kesehatan, dan kesempatan..

Lima tahun yang akan datang..
Mungkin saya akan sedang mem-flash back apa yang telah saya lakukan di waktu sekarang..

Ah, lima tahun yang akan datang…
Terlalu banyak yang ingin saya tuangkan di sini..

Maaf, baru bisa berkhayal.

Biarlah Tuhan, tulisan ini, dan Anda yang membacanya yang menjadi saksi
Bahwa saya pernah mengkhayalkan kehidupan saya di masa lima tahun yang akan datang..

Maaf baru bisa berkhayal..

Ibarat sebuah sistem, saya sedang memprogam diri saya agar menjadi ‘sesuatu’ di kemudian hari..
Berhasil atau tidaknya sebuah program tergantung siapa yang menjalankannya, dan bagaimana ia menjalankan program tersebut..

Berharap tuhan memudahkan jalan saya..
Ya, tunggu saya lima tahun yang akan datang..


Banda Aceh, 27 Agustus 2011, 0:27 am

Di hadapan notebook, sedang menulis dan bermain Sudoku (level: Expert) sambil mendengarkan lantunan suara merdu Taylor Swift.