Senin, 29 Desember 2014

Tunggulah Aku Memantaskan Diri Untuk Menjadi Lelakimu

"Selamat Ulang tahun."

Begitulah isi pesan singkat yang masuk ke ponselku pada pukul 14.47 siang ini. Baru kubaca sekitar pukul 17.30 sore, saat kuhempaskan tubuh ke ranjang, setelah lelah seharian beraktivitas dan kurang tidur di malam sebelumnya.

"Terima kasih ya :D," jawabku singkat.

"Sisil lagi sibuk?" ia bertanya melalui sms.

"Enggak. Ada apa?"

"Aku telpon boleh?" tanyanya.

"Boleh."

Tak lama kemudian ponselku berbunyi.

"Hallo, assalammualaikum," sapaku.

"Walaikumsalam. Selamat ulang tahun, Sil." Ia mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Aku masih mengenal suaranya, laki-laki yang sedang berbicara denganku ini.

"Makasi yaa. hehe.. kamu inget aja rupanya." aku mencoba berbasa-basi sedikit.

Kemudian aku dan laki-laki ini saling menanyakan kabar masing-masing. Sudah lama sekali aku tak mendengar kabarnya dan hampir tak pernah lagi aku melihat postingan terbaru di media sosialnya. Ternyata dia sudah selesai kuliah dan saat ini bekerja sebagai asisten lab di kampusnya.

Ia lalu menanyakan padaku perihal rencana melepas masa lajang. Jujur, aku masih belum memiliki rencana apapun soal itu. Namun pertanyaannya tersebut membuat pikiranku kembali lagi ke masa ketika pertama kali aku berkenalan dengannya.

Waktu itu, dua tahun yang lalu.. aku sedang berada di salah satu warung kopi di Banda Aceh. Sore itu, aku berencana pulang, namun hujan menghentikanku. Aku tak mungkin sendirian menunggu labi-labi yang lewat di depan warung kopi itu saat hujan sedang lebat-lebatnya. Jadi aku memutuskan untuk menunggu sebentar sampai hujan agak sedikit reda.

Sambil menunggu hujan reda, aku memutuskan untuk memainkan game yang ada di ponselku. 15 menit bermain game, tiba-tiba seseorang mengetuk mejaku.

"Heh, mentang-mentang udah ada BB sombong kali, ya.."

Kuangkat wajahku, melihat siapa yang tiba-tiba mengetuk mejaku. "Eh, Kiiiiiii!!! Aku pikir siapa lah!" Ternyata Kiki, teman lamaku.

"Itulah, udah ada hape baru, gak liat-liat orang lagi, ya! Mentang-mentang.. Sendirian aja?" tanyanya.

"Iya nih. Mau pulang, tapi hujan. Ya, bentar-bentar lagi lah, pulangnya. Eh, kalian duduk, lah." Aku menyodorkan dua kursi di depanku. Itu pertama kali aku bertemu denganmu yang saat itu sedang bersama Kiki. Kau saat itu menggunakan baju kaos berwarna biru, celana jeans, kaca mata besar berlensa tebal dengan bingkai berwarna hitam. Wajahmu orientalis, kulit putih, dengan sedikit bekas jerawat di pipi. Saat itu kau tidak banyak bicara, lebih banyak menunduk dan menyimak pembicaraanku dengan Kiki, sambil sesekali ikut tertawa jika kami membahas hal-hal lucu. Namun kemudian malamnya saat aku mengecek facebook ku, aku melihat kau mengirimkan permintaan pertemanan untukku dan meng-add BBM ku juga. Dari situ lah kisah kita dimulai...

Kau saat itu begitu pemalu. Sering aku mendapat notifikasi dari kau yang me-like postingan-postingan di facebook ku, tanpa pernah mengomentari apapun. Tapi kemudian aku tahu bahwa kau sering bertanya pada Kiki mengenaiku. Iseng, waktu itu aku coba menyapamu duluan melalui BBM, hingga kemudian berlanjut ke pembicaraan telepon.

Saat pertama kali berbicara denganmu, aku heran mengapa kau begitu pasif. "Ngomong sama aku ngebosenin, ya?" tanyaku pada waktu itu. Namun kemudian kau membantahnya. Kau bilang ini adalah kali pertama kau berbicara melalui telepon dengan seorang perempuan dan dengan durasi yang lumayan panjang. "Aku gugup kalau bicara dengan cewek, Sil. Maaf." begitu jawabmu.

"Ya ampun! Udah 21 tahun tapi masih takut ngobrol sama cewek? Helloooo.. Kamu gak boleh kayak gitu terus.. nanti kamu gak bisa dapetin cewek! Ayoo biasain dong bergaul sama cewek!"

"Ya udah, kalo kamu malu, kamu boleh biasain sama aku. Hahaha.. gak perlu malu-malu ah sama aku, ntar malah malu-maluin, lagi. Anggap aja aku ini sama kayak temen-temen cowok kamu yang lainnya." Aku menawarkan diri supaya kamu bisa percaya diri dalam bergaul dengan lawan jenis. Begitu saja pada awalnya.

Ternyata benar kata orang, cinta dapat tumbuh karena terbiasa. Setidaknya begitulah yang terjadi di antara kita berdua. Kau yang saat itu sudah terbiasa denganku, pada malam itu mengatakan ketertarikanmu padaku.

"Kenapa kamu bisa suka sama aku?" tanyaku penuh heran.

"Aku gak tau, Sil. Dari awal aku ketemu Sil, aku merasa Sil itu berbeda. Sil orang yang menyenangkan. Itu kesan pertama aku. Tapi semakin aku kenal Sil, semakin aku menyukai kepribadian Sil . Sil baik sama aku."

"Tapi, tapi kenapa aku? Aku ini enggak cantik, loh. Aku gak tinggi, gak langsing. Secara fisik, aku bukanlah cantik yang didefinisikan oleh kebanyakan laki-laki."

Kamu hanya diam.

"Kenapa aku? Kenapa gak perempuan lain?" tanyaku lagi.

"Karena aku gak punya alasan untuk suka sama perempuan lain selain Sil!"

Kali ini aku yang terdiam. Kita berdua larut dalam keheningan selama beberapa menit, bahkan aku bisa mendengar suara jangkrik yang berasal dari rawa-rawa di sebelah rumahku.

"Kenapa baru sekarang bilangnya, saat kita udah jauh gini?" Aku memecahkan keheningan dengan bertanya lagi. Jujur, waktu itu terlalu banyak 'kenapa, kenapa, dan kenapa' di dalam otak ku.

"Karena aku gak punya nyali untuk ngomong langsung di depan Sil! Seumur hidup, baru ini keberanian terbesar aku sama perempuan. Sama Sil."

Dan kemudian kita terdiam lagi..

"Dengar, Sil. Aku ngomong kayak gini bukan berarti aku minta Sisil untuk jadi pacar aku, bukan. Bukan. Aku cuma gak tahan aja untuk nahan perasaan ini. Semakin aku tahan, semakin susah aku kendaliin. Aku cuma bilang aja karena cuma Sisil satu-satunya teman perempuan yang akrab sama aku."

"Aku tau, aku bukan cowok idaman Sisil. Aku bukan aktivis, atau orang yang bisa Sisil ajak diskusi terkait masalah-masalah sosial yang Sisil pikirin. Aku gak ngerti tentang itu. Aku cuma ngerti tentang ilmu bumi, Sil. Aku ini laki-laki yang introvert banget, bukan tipe laki-laki humoris kayak yang Sisil suka." tambahnya.

"Aku juga sadar, Sisil gak mungkin suka sama aku.." kali ini nada suaranya agak melemah.

"Sebenarnya kamu laki-laki yang menarik, kok. Kamu gak kayak laki-laki lain yang caper dan sok asik. Kamu bener-bener apa adanya." Aku berusaha merespon pengakuannya.

"Aku suka Sil, tapi aku gak berani minta Sil jadi pacar aku. Sil layak untuk dapatin yang lebih baik dari aku." Entah kenapa aku jadi agak sedih saat dia berkata seperti ini.

"Tapi aku akan berusaha Sil, supaya bisa jadi laki-laki yang layak buat Sisil."

***

Kembali ke percakapan di telepon sore ini, masih membahas tentang rencana mengakhiri masa lajang.


Melalui suara yang masih ku kenal itu ia memintaku untuk menunggu hingga ia siap. Aku bertanya: "Sampai kapan?"

"Hingga waktu yang tak bisa kupastikan," jawabnya. Suasana tiba-tiba menjadi hening.

"Tunggulah aku memantaskan diri untuk menjadi lelakimu, Sil." Ujarnya seketika memecahkan hening.


"Tapi jika nanti ada laki-laki lain yang mampu memikat hati Sisil, aku ikhlas kalau Sisil lebih memilih dia. Mungkin kita enggak jodoh. Tapi aku yakin Tuhan gak pernah salah. Sesuatu yang memang ditakdirkan untuk menjadi milik kita, gak akan mungkin tertukar dengan punya orang lain. Kalau memang Sisil yang jadi jodoh aku, sejauh apapun kita pergi, pasti akan ada cara Tuhan untuk menyatukan kita kembali. Tapi kalo memang bukan, ya mau gimana lagi. Mungkin bukan aku yang terbaik buat Sisil." Kali ini aku merasa pembicaraan ini agak mendalam.


"Iya, kamu benar," cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Kemudian hening selama beberapa detik.


"Sil, di sini udah mau maghrib. Aku siap-siap mau ke mesjid dulu, ya."

"Iya. Makasi ya udah nelpon aku." 
"Iya, sama-sama. Udah dulu, ya. Assalammualaikum."
"Walaikumsalam." Klik! Telepon pun terputus.

Jumat, 24 Oktober 2014

Tentang Kau, Rindu, dan Candu

Rindu dan candu
adalah kau yang selalu ada di dalam kalbu

***

Menunggu dirimu yang candu Dibawah langit kelabu Bersama sekeping rindu

***

Merindu dan candu Tak lepas dari rasa Bertemu bukanlah sebuah jawaban Dirindu, itu yang aku mau darimu..

***

Hei pria berkacamata Kau adalah hal pertama Yang ku cari dengan seksama Setiap memandang layar maya Ah, mengapa Hari ini kita tak bertegur sapa?

***

*Dikutip dari akun twitter @Silfa_NA


Jumat, 29 Agustus 2014

In Relationship: I'm Ready Now!

Saya rasa mungkin sebagian orang yang pernah menjalin asmara selama bertahun-tahun lalu kandas, pernah merasakan perasaan ingin memulai cinta yang baru, namun di sisi lain merasakan lelah. Lelah untuk memulai lagi. Lelah untuk mulai membuka hati, menjalani proses saling mengenal satu sama lain, terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran, dan adaptasi yang harus dimulai dari nol lagi.

Kelelahan yang saya rasa bukan tanpa alasan. Pada tahun 2009 yang lalu saya menjalin hubungan asmara dengan seorang pria. Tipikal hubungan asmara yang sangat serius untuk melanjutkan hubungan ke jenjang berikutnya, yaitu pernikahan. Sebagian besar waktu dan pikiran saya curahkan kepada pria tersebut, namun kemudian takdir berkata lain. Hubungan saya dengan dia pun kandas di tahun 2012. Selesai dalam waktu 3 tahun.

Setelah hubungan tersebut berakhir, saya masih tetap sendiri selama 2.5 tahun. Sebenarnya saya bisa saja langsung menjalin hubungan dengan lelaki yang dekat dengan saya, tapi saya tidak mau jika hanya menjadikan hubungan baru hanya sebagai pelarian sementara. Banyak lelaki yang datang dan mendekat, tapi jujur, saya belum siap. Saya tidak mau terjebak dalam perasaan yang semu. Saya tidak mau mempermainkan hati orang lain.

Selama 2.5 tahun saya menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas; menyelesaikan kuliah dan tugas akhir, terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, berkenalan dengan orang-orang baru, mengejar karir, dan melakukan hal-hal positif lainnya. Beruntung saya tidak sendiri. Saya punya teman-teman yang single dan LDR yang sering menemani saya beraktivitas. Jadi gak berasa 'jomblo' nya. Hihihi.

Hingga kemudian di akhir bulan Agustus ini ada pria yang mendekati saya dan kemudian saya iyakan permintaannya untuk menjalin hubungan.

Awalnya saya kenal sama pria ini setahun yang lalu, sekitar tahun 2013. Dia adalah seorang pria yang usianya setahun diatasku, dan kampusnya di sebelah kampusku. Saya dan dia memulainya dari pertemanan di media sosial. Seperti orang asing lain yang meng-add saya di facebook, setelah saya konfirmasi kemudian saya biarkan begitu saja. Dia lah yang kemudian memulai perkenalan terlebih dahulu. Dari facebook kemudian lanjut ke BBM.

Lanjut ke BBM, komunikasi saya dengannya semakin intens. Kami banyak berbicara mengenai bisnis, investasi, cerita-cerita tentang isi buku Robert Kiyosaki (Rich Dad Poor Dad), dan saling bercerita tentang visi hidup masing-masing. Awalnya, menurut saya dia ini hanya anak band yang cuma suka senang-senang dan punya banyak teman spesial wanita alias playboy. Ternyata anggapan saya salah. Semakin saya mengenal dia, semakin saya melihat dia sebagai sosok yang berbeda. Dia adalah sosok anak muda yang berpikiran visioner. Pada saat itu ketika usianya masih 22 atau 23 tahun, dia berani mengambil langkah besar: membuka bisnis! Dari situ lah kemudian kami sering berbagi pandangan tentang bisnis dan investasi (terutama soal emas).

Kemudian dari obrolan via BBM, saya menganjurkannya untuk investasi dalam bentuk logam mulia. Bukan dalam bentuk perhiasan, tapi dalam bentuk emas koin, sebab emas koin nilai jual nya lebih menguntungkan dan tanpa potongan biaya jika mau dijual kembali. Kemudian saya merekomendasikan toko emas langganan saya dan mama. Karena dia tidak tahu tempatnya, jadi kita janjian buat ketemu. Nah, di situ lah pertemuan pertama saya dengan dia. Jadi kalo misalnya ditanyain "ketemunya dimana?", saya bakalan jawab "di toko emas!".

Setelah pertemuan di toko emas itu, saya dan dia tidak pernah bertemu lagi, tapi masih intens komunikasi via BBM. Hingga kemudian dia menawarkan hubungan yang lebih dari sekedar teman, tapi saya tolak. Jujur, sebenarnya saat itu saya belum sepenuhnya siap, walaupun dia adalah orang yang membuat saya gak pegel untuk ngetik2 obrolan bersamanya di BB sampai tengah malam. Setelah itu hubungan kami pun mulai renggang, komunikasi pun gak seintens dulu, tapi ada lah sesekali. Kalau di jalan pergi-pulang kampus, saya pun sesekali nge-lewatin tempat bisnis nya dia, tapi gak singgah, cuma ngabarin doang tadi ada lewat situ cuma nggak ngeliat dia. Gitu doang.

Setahun berlalu, kemudian dia tiba-tiba nyapa lagi. Dan kita seperti biasa, nanya kabar, nanya kesibukan akhir-akhir ini, dan hal-hal casual lainnya. Komunikasi pun mulai lagi dan tiba-tiba saya langsung meng-iya-kan ketika ia meminta saya untuk menjadi pasangannya. Bahkan saya sempat bingung, "ini beneran gak sih?", batinku. Dan ternyata dia memang serius.

Kalo mau di flash back lagi, selama setahun ini komunikasi saya sama dia sempat on-off berkali-kali. Saya bahkan sempat dekat dengan beberapa pria, mungkin begitu juga dengan dia. Saya sempat move on, tapi entah kenapa akhirnya balik lagi ke dia. Entahlah.

Saya dan dia memiliki sedikit kesamaan, dan banyak perbedaan. Persamaannya adalah kami sama-sama anak pertama, dan sama-sama suka makanan pedas. Sama-sama suka nuduh satu sama lain cerewet juga akibat suka makanan pedas. Hahaha. Sedangkan perbedaannya, waduh, banyak banget deh kayaknya. Tapi semoga perbedaan-perbedaan itu bukan jadi jurang pemisah, namun untuk saling melengkapi.

Hal lain yang saya suka dari dia adalah: dia lucu dan kalo ngomong suka blak-blakan. Saking blak-blakannya kadang-kadang suka bikin saya ketawa-ketawa sendiri. Karena dia tipe blak-blakan, jadinya saya ikutan blak-blakan juga. Dari awal pacaran saya langsung bilang ke dia: "Bang, ini serius kita pacaran? Kalo misalnya pacaran cuma untuk mesra-mesraan, mendingan pacaran aja sana sama cewek cabe-cabean. Tapi kalo misalnya pengen komitmen serius, pengen ada partner untuk seru-seruan, bertukar pikiran, saling support, dll, ayok kita lanjut! Kalo abang mau serius, Sil bisa lebih serius." Dan ternyata dia bilang dia mau serius.

Well, to be honest, saya bukan orang yang gampang jatuh cinta. Untuk saat ini pun perasaan saya ke dia masih belum tahap cinta sepenuhnya. Saya percaya bahwa cinta bisa tumbuh dan berkembang. Dan sekarang saya sudah siap membuka hati untuk cinta yang baru.


* P.S:

Buat bang PR, if you read this one, I just wanna tell you that I like it when we had our first fight yesterday. And after we solved our fight, we become closer and closer. For me, it was a process for us to know each other well. :)

With love,


Silfana