Sabtu, 19 November 2011

Surat Untuk Ayah - 2

aku tahu.. seandainya aku menjerit, berteriak pada langit sampai suaraku habis pun, langit tak kan mendengar, Tuhan tak kan mengembalikan waktu, Tuhan tak kan mengembalikan Ayahku..

***

kali ini aku menulis tentang Ayah lagi..
Jika aku rindu Ayah, aku akan menulis di sini..

Ayah..
di kampung kita lagi musim durian, musim rambutan..
aku tahu Ayah suka sekali durian dan rambutan..
sudahkah Ayah menyicipi durian dari kebun kakek? atau rambutan dari rumah ibu?
enak sekali, yah..

ayah..
maaf tadi malam aku membuka Black Berrymu.
sebelumnya, saat Ayah masih ada di sini, aku tak pernah berani menyentuh barang pribadi Ayah.
kali ini, saat Ayah telah ada di sana pun, rasanya canggung sekali saat menggenggam dan menekan BB Ayah..

ayah..
semalam di BB mu aku lihat ada email masuk dari sebuah Bank. aku bilang ke mama, setelah ku telepon pihak bank, Alhamdulillah tak ada masalah, tak ada yang harus di bayar. Bahkan Bank tersebut yang harus bayar ke kami. Sisa uangmu, tabunganmu, akan kami gunakan untuk bertahan hidup..

ayah..
melihat setiap sudut rumah, mengingatkan ku padamu..
rumah yang kau bangun dengan keringat, usaha dan doa..
sedih rasanya kalau harus di tinggalkan..

ayah, terasa sekali kehilanganmu..
menyadari bahwa hidup kami telah berubah sejak detik pertama kau dipanggil Allah..

Ayah yang dulu dihormati, disegani, dijadikan teladan, kini hanya tinggal nama dan kenangan..

dan kami yang Ayah tinggalkan harus tetap melanjutkan hidup tanpa Ayah..
mencoba beradaptasi dengan segala perubahan hidup..

ayah, aku merasa sebagai anak aku belum cukup berbakti..
banyak hal yang telah aku lakukan yang sangat mungkin pernah membuat Ayah tersakiti..
banyak sekali kekhilafanku pada Ayah..
ku mohon Ayah maafkan..

ayah, sebagai yang tertua aku ingin menjadi sepertimu..
membiayai adik-adik hingga menyelesaikan perguruan tinggi,
membimbing adik-adik hingga menjadi orang yang sukses,
seperti yang Ayah lakukan kepada adik-adik Ayah ketika kakek dan nenek sudah tiada lagi..

ayah, semua yang telah kami nikmati selama ini merupakan hasil dari semangatmu, perjuanganmu, belas kasihmu, kebaikanmu, kedermawananmu, dan ketulusan hatimu..
tak mampu kami membalas, biar Tuhan yang membalas semuanya..

yang dapat kami lakukan hanyalah berdoa..
semoga Tuhan menyejukkanmu dengan air surga, menyamankanmu di sana..

with love,


Silfana :)



Senin, 14 November 2011

Surat Untuk Ayah

Ayah, dimanapun Ayah berada, Ipa harap Ayah baca postingan di blog Ipa ini. Seperti yang biasa Ayah lakukan ketika Ayah masih ada di sini..

Ayah, pagi ini terasa sangat berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Berat. Itu yang mungkin kami semua rasakan.

Ayah, pagi ini kami pergi, meninggalkanmu. Ipa yang biasanya sok cool, sok kuat, sok tegar, kali ini tak mampu membendung semuanya. Ipa tahu, hal ini pasti akan terjadi. Berat rasanya meninggalkan Ayah di sini. Mengingat bahwa sebelumnya kita selalu pulang kampung bersama dalam suka cita, dan kembali ke Banda Aceh, rumah kita juga dalam keadaan suka cita, serta berbagai candaan kita lontarkan di dalam mobil.

Ayah, keberangkatan kali ini rasanya beda..

Sebelum berangkat kami menyempatkan diri mengunjungi pusaramu, tempat peristirahatanmu, rumahmu yang baru..

Apa kabar Ayah di sana? Nyaman? Kuharap begitu. Semoga tempat tidur Ayah di sana lebih empuk dari pada tempat tidur yang biasa Ayah gunakan di rumah..

Ayah, pagi ini kami akan berangkat, melanjutkan hidup tanpamu. Sungguh, kami merindukanmu, Ayah. Berharap Ayah bisa ikut bersama kami, duduk di kursi depan dan memutar mp3 yang ada di mobil dengan lagu-lagu kesukaan Ayah, seperti yang biasa Ayah lakukan.

Ayah, Ipa ingat, setiap kali pergi kuliah atau mau kemana saja, selalu berpamitan dengan Ayah, menciumi tangan Ayah, dan mengucapkan salam. Tapi kali ini, ingin sekali rasanya menciumi tangan Ayah seperti biasa, memandangi punggung tangan Ayah yang timbul urat-uratnya, menandakan bahwa Ayah tak semuda dulu lagi.

Ayah, maaf kali ini tak mampu mencium tanganmu seperti biasa, hanya mampu memberikan Al Fatihah dan beberapa doa untuk Ayah sambil menangis sesunggukan. Maaf Ayah, kali ini Ipa menangis..

Ayah, Ipa janji, sejauh apapun Ipa pergi, ke ujung dunia sekalipun, pasti akan kembali ke kampung, menjenguk Ayah. Jika nanti Ipa sudah punya anak, akan Ipa bawa cucu Ayah juga, akan Ipa ceritakan ke cucu Ayah nanti, bahwa ia memiliki kakek yang hebat, kakek yang luar biasa.

Ayah, perpisahan kali ini sungguh tidak pernah kami inginkan. Kami dilepas dengan air mata. Sebelum berangkat, bersalaman dengan yang lain pun dengan air mata. Orang yang biasanya kami lihat tegar, tadi tampak menangis sesunggukan.

Ayah, saat tiba di rumah pun suasananya berbeda. Biasanya dulu jika sudah sampai di rumah, rasanya lega karena telah melewati perjalanan jauh yang melelahkan, kemudian kita melihat keadaan ikan-ikan piaraan kita, apakah sehat atau ada yang mati setelah ditinggalkan.

Kali ini, Ayah, suasananya berbeda. Ketika pintu rumah dibuka, tubuh kami lemas. Terduduk di ruang tamu, kami semua menangis. Setiap sudut di rumah mengingatkan kami pada Ayah. Cukup lama kami semua menangis. Melihat kursi yang biasa Ayah gunakan, teringat dulu Ayah sering sekali duduk di kursi itu, terbayang suara Ayah memanggil namaku. Melihat ke arah TV, teringat acara apa yang biasa Ayah tonton di hari libur, teringat acara-acara TV yang biasa kita tonton bersama, acara kesukaan Ayah, dan lain-lain. Melihat ke arah meja makan, teringat setiap kali makan, Ayah selalu menyuruh kami untuk memakan sayur-sayuran yang telah Mama masak.

Ayah, kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami di masa yang akan datang. Kepergian Ayah begitu mendadak, namun kami ikhlas, yah, walau sebenarnya kami ingin bersama Ayah lebih lama lagi, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Kami ikhlas, sungguh.

Ayah, selain kami, salah satu yang paling terpukul adalah Mama. Ibarat pohon, saat Ayah masih ada, Mama bagaikan sebuah pohon yang tinggi, rimbun dan berbuah lezat. Namun kini, Mama seperti pohon setengah kering yang hanya memiliki sedikit daun.

Sekarang kami hanya punya Mama. Walaupun Ayah sudah ada di sana, tapi kami yakin semangat Ayah akan tetap hidup bersama kami. Akan kami lanjutkan apa yang menjadi keinginan Ayah dulunya. Kami berjanji akan membuat Ayah bangga memiliki kami, anak-anak Ayah. Walaupun pada saat yang membanggakan tersebut Ayah tidak ada bersama kami, tidak ikut mengabadikannya bersama kami dalam berbagai jepretan kamera, namun kami percaya Ayah akan tersenyum dengan bangga melihat keberhasilan kami dari sana..
Ayah, sungguh kami tidak tahu apa yang menjadi rencana Tuhan terhadap kami selanjutnya. Yang kami tahu adalah Allah yang memberi penyakit, Allah pula yang menyembuhkan; Allah yang memberi kesedihan, Allah pula lah yang akan memberi kebahagiaan.

Fa'inna ma'al ushri yusraa, inna ma'al ushri yushra : Setelah kesulitan pasti ada kemudahan, sungguh setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Ditekankan dua kali dalam surat Al-Insyirah. Sungguh, janji Allah itu pasti..

Dari anakmu yang mencintaimu,


Silfana Amalia Nasri binti alm. Fadhli Nasri