Saya sering mendengar kisah-kisah mereka yang berhasil bertahan hidup sekian lama ditengah keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk tetap hidup, dan juga membaca kisah-kisah inspiratif dan menyentuh dari para penderita penyakit tertentu yang berhasil melawan vonis dokter, bahkan sampai saat ini masih tetap hidup dan sehat walafiat.
Contoh kasus, ada seorang pria berusia 55 tahun yang telah di opname selama berbulan-bulan di sebuah Rumah Sakit di Ohio karena mengidap penyakit paru-paru. Saya tidak tahu apa nama medisnya, yang jelas diceritakan bahwa kondisi paru-parunya saat itu sudah sangat akut karena terkontaminasi oleh gas beracun. Sel darah putihnya tidak dapat bekerja secara maksimal dikarenakan usianya yang sudah tidak terbilang muda lagi. Ia menghabiskan waktunya di Rumah Sakit selama berbulan-bulan dengan dibantu alat pernafasan buatan. Dokter pun menaksir bahwa dengan kondisi seperti itu, hidupnya tidak akan bertahan lebih dari enam bulan.
Dua minggu kemudian bapak tersebut memutuskan untuk keluar dari rumah sakit. Ia ingin berobat jalan saja. Ia berpikir bahwa dengan hidupnya yang tinggal enam bulan lagi, ia ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya yang mungkin selama ini ia lupakan.
Menjelang enam bulan, ia melakukan check up kembali seperti biasanya. Namun apa yang terjadi? Dokter sangat heran dan terkejut melihat kondisi bapak tersebut saat ini. Dokter menyatakan bahwa ia sembuh TOTAL. Ya, sembuh total. Paru-parunya dapat berfungsi dengan normal kembali. Apa yang terjadi pada bapak tersebut selama kurang dari enam bulan?
The Power of Mind
Saat diundang dalam sebuah reality show, bapak tersebut menceritakan bagaimana prosesnya hingga ia dapat sembuh total. Ternyata ia hanya melakukan hal-hal yang sederhana.
“Saat kembali ke rumah, saya menghabiskan waktu bersama istri dan anak-anak, dan juga dengan para cucu. Kami bermain bersama, pergi piknik, dan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang menyenangkan. Saya juga menghubungi rekan-rekan kerja dulu, dan juga sahabat-sahabat lama. Kami membuat janji, bernostalgia tentang pengalaman-pengalaman menarik di waktu lampau.”
“Saya menyadari selama ini saya banyak mengeluh, saya sering memarahi istri dan anak-anak saya. Mungkin karena itulah orang-orang di sekitar saya seperti menjaga jarak dengan saya. Saya yang dulu sangat kaku dan dingin. Kemudian saya mencoba untuk berpikir positif dan menciptakan emosi positif, secara perlahan saya kurangi kebiasaan buruk saya seperti mengeluh dan suka marah-marah. Saya mulai menyapa orang lain, membangun komunikasi yang lebih baik. Dan hasilnya sangat luar biasa.”
“Saat check up, dokter yang biasa menangani saya terlihat sangat terkejut. ‘Ini adalah sebuah keajaiban!’ begitu katanya. Dokter mengatakan sel darah putih saya dengan sangat aktif membelah diri, menciptakan sel-sel darah putih yang baru dan kemudian ‘memakan’ gas beracun dalam paru-paru saya.”
Apa yang disampaikan oleh bapak tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Benar bahwa tubuh kita selalu merespon pikiran kita. Saat kita berpikiran positif maka otak kita akan merespon. Seperti yang kita tahu, otak adalah pusat kendali seluruh aktifitas fisik. Dalam kasus bapak tersebut, ketika ia berpikir positif dan memunculkan emosi positif, maka otaknya akan merespon dan dalam mekanisme tertentu memerintahkan sel-sel darah putihnya untuk terus membelah dengan aktif sehingga sel-sel darah putih tersebut mampu membunuh gas beracun yang terdapat dalam paru-paru bapak tersebut.
“Allah ada bersama prasangka hambanya.”
Jika kita berpikir tentang hal-hal yang baik, maka tanpa kita sadari tubuh kita akan merespon dan melahirkannya dalam bentuk proses atau usaha.
Saya memiliki seorang teman yang sangat pencemas. Ia selalu megkhawatirkan sesuatu secara berlebihan. Belum juga terjadi, namun si teman yang satu ini sudah berpikir terlalu jauh. Dalam kepalanya sudah terbayang hal terburuk yang nanti akan terjadi. Dan akhirnya, apa yang ia pikirkan itu benar-benar terjadi. Ia sering meratapi dirinya sendiri sebagai orang yang kurang beruntung, selalu malang, dan lain sebagainya. Ia selalu menganggap dirinya buruk, dan begitulah ia pada akhirnya. You are what you think.
Setelah menjalani proses Caesar untuk kelahiran anak pertamanya sekitar dua tahun yang lalu, teman saya (yang usianya lima tahun lebih tua dari saya) mengeluh tentang berat badannya yang naik secara drastis. Memang sih, sebelum dia menikah dulu bentuk tubuhnya sangat proporsional. Saya sering mengaguminya karena ia selalu terlihat cantik jika mengenakan pakaian apapun. Namun setelah melahirkan bobot tubuhnya naik hingga 70 kg.
Saya menyarankan padanya agar tidak menyalahkan makanan sebagai penyebab naiknya berat badan.
“Jangan diet, kak. Yang perlu dilakukan sebenarnya sederhana saja, cukup pikirkan tentang berat badan ideal yang kakak inginkan, pikirkan bagaimana senangnya kakak jika berat kakak nanti segitu, terus bayangkan bagaimana penampilan kakak nanti seandainya berat badan kakak udah segitu. Terus, tiap pagi kakak berdiri tegak di depan cermin, sambil tersenyum katakan pada bayangan kakak yang ada di depan kakak ‘saya cantik, saya langsing, saya cantik, saya langsing..’ begitu terus selama satu menit setiap pagi.”
“Gitu aja ya, Sil?”
“Iya kak.”
“Gampang kali kok!”
“Emang gampang. Coba aja.”
Sekitar akhir bulan Juni yang lalu, kebetulan saya berpapasan dengan teman saya tersebut saat saya sedang mutar-mutar ga jelas di Pasar Atjeh. Saya sangat takjub dengan penampilannya sekarang. Nyaris seperti dulu lagi, sebelum ia menikah.
Ternyata ia mencoba apa yang saya sarankan. Ia tidak mengurangi porsi makannya, karena ia sedang dalam proses menyusui. Ia hanya mensugesti dirinya sendiri, seperti yang saya sarankan. Kini, ia hanya butuh menurunkan sekitar 3-5 kg lagi untuk mencapai berat badan idealnya.
Saya sendiri juga bukan orang dengan tubuh proporsional. Saya gendut. Tapi itu bukan masalah buat saya. Bagi saya bentuk fisik itu sangat tidak penting, yang penting isi kepala. Toh, teman-teman saya juga banyak yang gemuk. Jadi saya tidak mempermasalahkan itu.
Kembali lagi ke kasus bapak tadi. Sebenarnya, apa yang dialami oleh bapak tersebut dapat dijelaskan dalam berbagai perspektif ilmu pengetahuan.
Dalam kajian Psikologi, para peneliti sepakat bahwa emosi berbanding lurus dengan kesehatan. Semakin baik emosi kita, maka semakin baik pula kondisi kesehatan kita. Tanpa kita sadari ternyata banyak gangguan fisik yang sebenarnya terjadi karena adanya permasalahan psikis. Hal ini disebut dengan gangguan Psikosomatis.
Gangguan psikosomatik dapat diartikan sebagai reaksi jiwa pada fisik (soma). Menurut American Psychosomatic Society (2005), gangguan psikosomatik berasal dari bahasa Yunani (Psyche= jiwa dan Soma= fisik), sehingga psikosomatik dapat diartikan sebagai hubungan fisik dan jiwa. Ada hubungan yang sangat erat antara faktor fisik, faktor psikologis, dan sosial terhadap perjalanan suatu penyakit.
Gangguan psikomatik ini mungkin bisa menjawab, "Mengapa seseorang bisa terkena serangan jantung setelah bertengkar dengan bosnya?, Mengapa penyakit rematik jadi jauh lebih sakit ketika penyandangnya stres?, Mengapa kematian penyakit jantung dipengaruhi oleh ada tidaknya depresi?"
Sebuah penyakit dapat muncul akibat banyak faktor. Penyakit dapat muncul sebagai akibat faktor lingkungan atau sosial. Penyakit dapat muncul juga akibat faktor genetik dan keturunan. Berbagai faktor tersebut akan berinteraksi dengan kompleks.
Faktor psikologis dapat sebagai pencetus munculnya gangguan fisik, misalnya gangguan tidur akibat kecemasan, nyeri otot tengkuk akibat stres atau diare dan nyeri ulu hati akibat ketakutan.
Faktor psikologis dapat pula mempengaruhi perjalanan klinis suatu penyakit, misalnya pasien stroke dengan depresi akan memiliki status fungsional yang relatif lebih buruk dibanding tanpa stres, angka kematian penyakit jantung koroner dipengaruhi oleh ada tidaknya depresi.
Faktor psikologis mempengaruhi berbagai organ tubuh melalui mekanisme yang kompleks antara faktor saraf, hormonal, dan imunologis. Stres kronik dapat mempengaruhi sistem saraf dan sistem hormonal yang dapat mempengaruhi sistem imun (sistem kekebalan tubuh). Hal ini menerangkan mengapa seseorang dengan stres kronik lebih mudah sakit. Pacuan sistem saraf simpatis menerangkan munculnya hipertensi, stroke, dan penyakit jantung koroner akibat stress emosional.
Pada beberapa kasus, gangguan psikosomatik dapat muncul reaksi yang aneh dan tidak dapat dijelaskan oleh ilmu kedokteran. Buta mendadak, lumpuh mendadak, atau kesemutan yang sifatnya aneh umum dijumpai. Penderita pada umumnya masih berusia muda, sebagian besar wanita dan didahului oleh stressor yang jelas. Pasien ini akan menjalani berbagai pemeriksaan dengan hasil yang normal.
Pada umumnya pasien dengan gangguan psikosomatik sangat meyakini bahwa sumber sakitnya benar-benar berasal dari organ-organ dalam tubuh. Pasien dan keluarganya sering meminta untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dan rontgen.
Pemeriksaan lab dan rontgen dapat membantu untuk mengurangi kecemasan pada pasien dan keluarganya. Bila hasil pemeriksaan normal, maka tidak perlu ada kecemasan yang berlebih tentang suatu kondisi penyakit yang serius. Banyak pasien yang tidak mau dikonsulkan kepada psikolog atau psikiater karena ia sangat yakin bahwa sumber sakitnya adalah fisik dan bukan psikis. Mereka ‘lebih suka menderita sakit yang sifatnya nyata’.
Sifat manusia tidak akan suka hidup dalam ketidakpastian, sehingga pasien tetap akan mencari tahu apa penyebab pasti dari sakitnya. Hal ini membuat pencarian penyebab organik akan terus dilakukan dan tentunya memakan biaya yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Seorang petugas kesehatan harus melihat pasien atau klien sebagai makhluk fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang utuh. Keluhan seorang pasien harus ditanggapi dengan serius (betapa pun anehnya keluhan tersebut).
Penelitian menunjukkan bahwa pasien psikosomatis seringkali tidak puas dengan pelayanan medis yang didapatnya akibat tanggapan dokter yang tidak serius tentang penyakitnya. Pasien ini akan cenderung berpindah-pindah dokter atau rumah sakit tanpa hasil.
Seorang pasien akan lebih nyaman dan puas bila mendapat penjelasan yang jelas tentang penyakitnya, informasi dan instruksi yang jelas, dan pemeriksaan yang teliti.
Simak kata-kata Hipocrates, seorang pasien akan merasa lebih nyaman dengan sapaan, senyuman dan bila didengar dengan empati. Komunikasi yang baik harus dijalin untuk mengeksplorasi adanya stressor, dan seringkali tindakan konseling diperlukan. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi psikologis klinis sangat membantu dalam banyak kasus.
Jadi jika Anda sering mengalami berbagai keluhan tapi ketika diperiksa tidak juga ditemukan masalah penyakit, mungkin jawabannya adalah terjadi gangguan psikomatis yang lebih ke arah masalah psikis.
Hindari stress, cemas yang berlebihan, dan berpikirlah positif. Setiap hal buruk yang terjadi pasti memiliki potensi atau harapan-harapan untuk dapat berubah menjadi lebih baik, sekecil apapun itu. Teruslah berpikir positif, karena realitas saat kini atau hidup Anda saat kini adalah hasil dari pikiran-pikiran yang telah Anda pikirkan.
Salam hangat,
Silfana :)
Kuncinya berbaik sangka pada ketentuan Allah, semua ketentuan ada hikmahnya .. ^^
BalasHapusiya. benar.. terima kasih Fahrie.. :)
BalasHapus