“Sil, lagi dimana?”
BBM darinya di pagi menjelang siang ini tiba-tiba masuk ke
HP ku. Tumben, pikirku.
“Lagi di rumah Dil. Kenapa?” jawabku.
Aku ingat sekitar seminggu yang lalu, sebelum berangkat ke
Kuala Lumpur, ia menanyakan keberadaanku. Saat kutanyakan ada apa, ia menjawab “mau
ketemu untuk yang terakhir kali.” Saat itu aku sedang memberikan psikotest di
sebuah biro psikologi, jadi aku tak bisa menemuinya.
Sehabis membalas pesan BBM nya, aku dapat telepon dari Kak
Norma yang membicarakan tentang rencana mengasistensi teman-teman GEMPUR dalam
berkegiatan bersama pengungsi Rohingya. Aku yang waktu itu baru selesai mandi,
masih memakai handuk, tiba-tiba dipanggil oleh adikku Farras. “Ada kawan kakak
di bawah,” begitu katanya.
Segera aku berkemas, menemui siapa yang Farras bilang sedang
menungguiku di bawah. Dengan pakaian seadanya, aku temui dia di bawah. Ternyata
dia. Ia berdiri di tiang dekat teras rumahku, mengenakan kemeja lengan panjang
hitam, celana panjang berbahan jeans dengan warna biru tua, kaca mata
berbingkai hitam, dan rambutnya yang masih tetap gondrong, tebal dan indah itu.
“Eh, qe (kamu) Dil. Udah lama? Masuk lah,” ujarku.
“Gak usah Sil, di sini aja,” kemudian ia langsung duduk di tangga
teras rumahku. Aku pun duduk di sebelahnya.
“Apa kabar?” tanyaku memulai percakapan. Ia hanya tersenyum.
Aku bisa melihat matanya dari balik kaca mata berlensa tebal yang dikenakannya.
Oh!
“Kayak mana pengungsi Rohingya, Sil?” ia bertanya padaku,
dan aku pun menceritakan pengalamanku selama di sana.
Belum selesai aku bercerita, dia berkata padaku “Sil, keluar
yok?”.
Kami pun sepakat untuk keluar. Setelah menungguku berkemas
sekitar 5 menit, kami memutuskan untuk pergi ke suatu tempat makan yang tidak terlalu
jauh dari rumahku. Dia yang menentukan tempat. Alasannya, ia ngidam salah satu menu yang ada di
tempat itu. Selama di KL, ia merasa lidahnya tidak cocok dengan makanan di
sana.
“Sil, ada asuransi kan?” tanyanya.
“Ada. Kenapa emangnya?”
“Aku mau balap nih. Hahaha,” jawabnya. Duh, dasar anak itu,
selalu aja kalo bawa motor balap-balap. Aku duduk di belakangnya, dan
meletakkan tanganku di punggungnya.
Setelah sampai di sana, kami melanjutkan perbincangan yang
tadi sempat terputus. Kami duduk berhadapan. Setelah menceritakan tentang
keadaan pengungsi Rohingya, aku bertanya mengenai pengalamannya selama di KL.
“Aku di sana bukan jalan-jalan, Sil. Aku pergi berobat. Dua orang
kawan aku itu cuma temenin aku aja,” jawabnya.
“Berobat? Sakit apa qe?” tanyaku. Kemudian ia menceritakan
tentang penyakitnya. Pengentalan darah, begitu katanya. Ia pernah menceritakan
tentang penyakitnya ini kepadaku sekitar beberapa bulan yang lalu. Ia telah
menderita penyakit ini sejak beberapa tahun yang lalu.
“Jadi kenapa waktu itu, sebelum berangkat qe bilang mau
ketemu aku untuk yang terakhir kalinya?” tanyaku.
“Aku kira aku gak bisa balik lagi ke sini. Takut kali aku.”
“Terus sampai di sana, aku ketemu sama ayahnya teman aku. Dia
lah yang semangatin aku. Cara dia ngomong mirip sama almarhum ayah aku,”
tambahnya lagi.
Aku bisa lihat binar-binar kesedihan itu dari matanya dan
raut wajahnya. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau dia meninggal.
Ku tatap matanya selama selama beberapa detik. “Aku gak mau
qe meninggal, Dil,” ujarku.
“Karna aku gak mau mati, lah, makanya aku berobat ke sana,”
jawabnya sambil tertawa. Seketika ada sedikit rasa bahagia yang muncul saat
melihatnya tertawa.
“Gimana Sil,
udah berhasil move on?” tanyanya yang
sekaligus memecah tawaku.
Seketika aku teringat sekitar 1-2 bulan yang lalu, saat aku
mengatakan bahwa aku ingin move on, dia
adalah orang yang paling banyak menanyaiku tentang kenapa aku mau move on, aku mau move on dari siapa, dll. Sepertinya dia lupa ingatan bahwa dia tau
perasaanku terhadapnya, atau mungkin hanya sekedar ingin diyakinkan saja. Entahlah.
Ketika aku bilang bahwa aku mau move on dari
dia, dia bilang aku bercanda. Setelah aku katakan “Dil, mana pernah aku
bercanda sama urusan yang kayak gini,” dia malah diam. Tengah malamnya, sebelum
tidur, ia menelponku selama 4 menit 27 detik, hanya untuk memastikan bahwa aku
baik-baik saja, dan kemudian keesokan harinya ia tetap menjadi seperti biasa –
sosok yang menyebalkan.
Dan sejak itulah aku memilih menjadi sosok yang juga
menyebalkan untuknya. Aku mulai ketus, mulai suka mengejeknya. Intinya, aku
bertingkah sebagaimana ia memperlakukanku. Mungkin
dia memang tipikal orang yang gak mempan kalo dibaik-baikin, begitu
pikirku.
Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan
pulang, tepat di depan lorong rumahnya, tiba-tiba ban motornya bocor. Akhirnya ia
menyuruhku masuk ke rumahnya, sementara ia pergi ke tempat tambal ban di dekat
rumahnya. Aku hanya duduk di ruang tamu rumahnya kira-kira sekitar 15-20 menit.
Kemudian ia kembali, mengambil laptop di kamarnya, dan kemudian kami pun
melanjutkan perjalanan.
Di perjalan pulang, aku
mengomentari rambutnya yang panjang alias gondrong. “Ikatin lah, Sil,”
pintanya. Kemudian ku kucir rambutnya dengan jari-jemariku, namun karena tidak
ada karet, jadi kulepaskan lagi rambutnya. Tak lama kemudian kami sampai ke
rumahku. Setelah saling menuturkan terima kasih, kami pun berpisah.
Pertemuan dengannya hari ini lagi-lagi membuatku gagal move on!
Sebenarnya aku sudah dari dulu berusaha untuk move on
darinya, namun selalu gagal. Ada saja hal-hal yang membuatku akhirnya kembali
lagi padanya. Aku tipikal orang yang sulit jatuh cinta, namun sekali aku
mencintai seseorang, aku akan mencintainya secara mendalam.
Sore ini aku memikirkan kembali tentang perasaan itu:
mengapa aku bisa mencintai seseorang sesantai ini? Tak ada rasa menggebu-gebu
sedikitpun.
Kemudian aku menyadari bahwa rasa ini adalah rasa sayang
yang benar-benar sayang. Aku hanya ingin dia selalu bahagia, aku ingin
membantunya, aku ingin dia mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku tahu
banyak orang yang jika ia mencintai seseorang, maka ia ingin sekali
memilikinya. Memang bahagia sekali rasanya jika orang yang kita cintai juga
mencintai kita, dan lebih membahagiakan lagi jika cinta itu terpaut dalam suatu
ikatan. Aku mengerti akan hal ini, namun aku tidak terlalu berharap. Orang bilang
kekecewaan selalu datang akibat dari harapan yang tak kesampaian. Aku mengerti.
Bahkan jika suatu saat nanti ia lebih memilih orang lain pun, aku akan tetap
berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri, seperti yang selama ini aku lakukan. Jika yang ia inginkan adalah wanita berparas cantik dan rupawan, apalah
aku ini yang hanya bermodalkan ‘baik’ semata?
Mendengar ceritanya tentang penyakitnya membuatku agak
sedih. Ia sering bersikap seolah-olah hidupnya tak lama lagi. Ia pernah
mengatakan padaku bahwa penyakitnya ini membuatnya takut berkomitmen dengan
perempuan. Tidak. Tidak. Aku tidak ingin dia menyerah. Aku ingin ia hidup
selama mungkin. Aku ingin melihatnya bahagia lebih lama lagi. Aku ingin dia
hidup lebih lama. Aku ingin melihatnya menikah, meskipun itu bukan denganku. Aku ingin dia bahagia. Bahagia lebih
lama lagi.
Hari ini ketika bertemu langsung dengannya, aku lupa
mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung kepadanya. Tanggal 20 Mei 2015
yang lalu ia genap berusia 24 tahun. Ah, selamat ulang tahun untuknya, yang
mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini. Semoga di tahun-tahun berikutnya
aku masih bisa terus mengucapkan selamat ulang tahun untuknya setiap tanggal 20
Mei.
Tuhan, aku ingin dia hidup lebih lama lagi..